Ki
Hadjar Dewantara, pahlawan
nasional yang
dihormati sebagai bapak pendidikan
nasional di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya Indonesia
selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena
berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia
Belanda pada masa itu,
yang hanya memperbolehkan anak-anak
kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.
Kritiknya
terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda,
dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia. Ki
Hadjar Dewantara diangkat sebagai menteri pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia.
Filosofinya, tut wuri handayani ("di belakang memberi
dorongan"), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia.
Ia wafat pada tanggal 26 April 1959. Untuk menghormati jasa-jasanya
terhadap dunia pendidikan Indonesia, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal
kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional. (Wikipedia)
Salah satu dari sekian banyak
penyakit yang menjangkiti negeri kita ini adalah kurang paham dalam memahami
sesuatu. Kita seperti seekor elang liar yang seenaknya terbang bebas
berputar-putar diawan dan lupa tempat bertengger ditempat
yang sebenarnya. Penyakit kita dari masa kolonial
belanda yang notabene adalah masa sebelum kemerdekaan kita selalu saja sama : Fundamental yang lemah. Lebih tujuh
puluh tahun kita belum move on dari kegalauan negeri kita, negeri dengan
belasan ribu pulau yang berhamburan dari sabang sampai merauke. Yang sejak SD
pelajaran itu telah dibisikkan masuk kekepala kita, petanya tergantung rapih
disemua tembok-tembok pemerintahan, sekolah, rumah sakit, atau bahkan rumahmu
sendiri. namun Bhinneka Tunggal Ika
masih saja dianggap tempelan-tempelan wajib yang tidak bersubtansi.
Pernahkah kita sadari bahwa masalah
Ki Hadjar Dewantara dahulu belum kadaluarsa ? sedikitpun belum luntur, hanya
saja bersembunyi dibalik riuhnya masalah masalah sistemik seperti standarisasi Ujian
Nasional, bongkar pasang kurikulum sekolah, sertifikasi guru, dan sebagainya. Ekonomi
adalah bayangan gelap Pendidikan Indonesia yang selalu mengikuti kemanapun pergi. Ekonomi
sangat mempengaruhi kualitas pendidikan Indonesia, bukan masalah bagi kaum Borjuis, Feodal, atau Kapitalis, mereka dapat dengan mudah
membeli pendidikan. nah, Bagaimana dengan kaum marjinal ? Dari data Kemdikbud setiap tahunnya tidak kurang dari 1,5
juta anak tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan ada sekitar 11,7 juta anak yang buta tulis
dan aksara. Dan menurut data UNSCO 2011 tingginya angka putus sekolah dapat
mengakibatkan peringkat indeks pembangunan masih tertinggal jauh dibandingkan Negara-negara
lain. Ekonomi berdampak langsung kepada Pendidikan juga Infrastukrur.
Menurut media suara pembaruan, ada
empat hal yang mengakibatkan angka putus sekolah masih cukup tinggi. pertama, kemiskinan
yang hingga kini belum sepenuhnya teratasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menyebutkan pada Maret 2011, terdapat 30,02 juta orang miskin atau hanya turun
1 juta orang dibanding tahun sebelumnya. Kemiskinan jelas menjadi momok dalam
dunia pendidikan. Kedua, minimnya kesadaran tentang
pentingnya pendidikan, terutama pada keluarga miskin. Selama ini mereka
hanya berpikir pendek untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak heran bila anak-anak
lebih disuruh bekerja ketimbang sekolah, mengingatkan saya pada adegan film Guru besar Tjokroaminoto, yang terjadi
perbedaan pendapat anggota Serikat Islam apakah memilih pendidikan yang layak
atau tanah sebagai ladang bekerja masyarakat (lagi-lagi masalah Klasik yang terjadi
di Zaman Modern). Ketiga, kondisi geografis yang menjadi
kendala anak-anak bersekolah. Di kawasan timur Indonesia, ada banyak anak yang
harus berjalan berpuluh kilometer atau berperahu mengarungi lautan agar bisa
sekolah. Kondisi geografis yang tak menguntungkan itu membuat sebagian anak
lebih senang berdiam di rumah daripada menimba ilmu di sekolah. Keempat, alokasi anggaran pendidikan
yang tak tepat sasaran dan minim pengawasan. Peningkatan anggaran pendidikan
yang signifikan ternyata belum diikuti pemanfaatan yang tepat. Sebagian besar
anggaran pendidikan justru lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan
birokrasi, daripada meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana-prasarana
pendidikan.
Pendidikan adalah investasi masa
depan, miniatur peradaban, dan simbol kemapanan pada suatu bangsa. Amburadulnya
suatu negara adalah cerminan dari bobroknya pendidikan pada negara tersebut.
Ilmu lah yang akan menyelamatkan kita dari sedusta-dustanya suatu perkataan.
menuntut ilmu ibarat perjalanan yang tidak akan ada habisnya, maka tidak boleh
ada kepuasan dalam prosesnya. Dalam suatu hadis Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ أَرَا دَالدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ،
وَمَنْ أَرَادَالْاآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ
”Barang siapa
yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang
siapa yang menghendaki kehidupan Akherat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan
barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu”. (HR. Turmudzi)
Kata-kata
wajib selalu mengikuti kata Ilmu, saking pentingnya Ilmu bagi kehidupan kita.
Selain wajib, kita sudah seharusnya menjadi manusia yang benar-benar mencintai
Ilmu, karena seiring berjalannya waktu yang tidak dapat dipisahkan dari raga
manusia adalah mempelajari sesuatu. namun yang menjadi masalah adalah kurangnya
kemauan dalam menuntut Ilmu. adapun cara yang paling praktis dalam menuntut
Ilmu adalah membaca, you are what you read, suatu kalimat yang saya ambil dari seorang penulis
fiksi. yang bermakna bahwa setiap penulis mentransformasikan pengetahuannya
lewat buku yang dia tulis dan yang telah kita baca. membaca membuat kita
belajar tanpa membutuhkan guru yang menerangkan pelajaran, membuat kita nyaman
karena cukup otak kita yang menjelajahi seluruh isi bacaan. membuat kita kaya
akan kosa kata baru yang terdapat dalam buku dan secara tidak langsung melatih
kita dalam berbahasa yang baik dan benar. namun hal ini pula yang
menjadi kelemahan kita. Pada tahun 2011, UNESCO
merilis data bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari seribu penduduk, hanya satu orang
yang memiliki minat baca. ini sungguh memprihatinkan, sebagai bangsa
yang kurang memiliki minat untuk belajar.
3 semboyan yang didengungkan Ki Hajar Dewantara :
Ing
Ngarsa Sung Tuladha : Di Depan Memberi Teladan
Ing
Madya Mangun Karsa : Di Tengah Membangkitkan Kehendak
Tut
Wuri Handayani : Di Belakang Menggerakkan
bila
kita memahami baik baik 3 semboyan diatas, kesenjangan Pendidikan atau aspek
apapun yang menjadi masalah bangsa dapat kita tahu tata cara penanganannya. dipahami
lalu diniatkan dalam hati kemudian diamalkan dengan dengan baik dan benar. mari
cintai Pendidikan Indonesia dengan membuatnya tumbuh menjadi lebih baik atas
prinsip-prinsip pahlawan dan junjungan kita terdahulu.
Selamat Hari Pendidikan
Nasional
2
Mei 2015
Muhammad
Hanif Al-Basyar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar