1 Mei 2015

[artikel] Kesenjangan Pendidikan Nasional

Share it Please


Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.


         Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda, dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia. Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai menteri pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia. Filosofinya, tut wuri handayani ("di belakang memberi dorongan"), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia. Ia wafat pada tanggal 26 April 1959. Untuk menghormati jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan Indonesia, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional. (Wikipedia)
            Salah satu dari sekian banyak penyakit yang menjangkiti negeri kita ini adalah kurang paham dalam memahami sesuatu. Kita seperti seekor elang liar yang seenaknya terbang bebas berputar-putar diawan dan lupa tempat bertengger ditempat yang sebenarnya. Penyakit kita dari masa kolonial belanda yang notabene adalah masa sebelum kemerdekaan kita selalu saja sama : Fundamental yang lemah. Lebih tujuh puluh tahun kita belum move on dari kegalauan negeri kita, negeri dengan belasan ribu pulau yang berhamburan dari sabang sampai merauke. Yang sejak SD pelajaran itu telah dibisikkan masuk kekepala kita, petanya tergantung rapih disemua tembok-tembok pemerintahan, sekolah, rumah sakit, atau bahkan rumahmu sendiri. namun Bhinneka Tunggal Ika masih saja dianggap tempelan-tempelan wajib yang tidak bersubtansi.
            Pernahkah kita sadari bahwa masalah Ki Hadjar Dewantara dahulu belum kadaluarsa ? sedikitpun belum luntur, hanya saja bersembunyi dibalik riuhnya masalah masalah sistemik seperti standarisasi Ujian Nasional, bongkar pasang kurikulum sekolah, sertifikasi guru, dan sebagainya. Ekonomi adalah bayangan gelap Pendidikan Indonesia yang selalu mengikuti kemanapun  pergi.  Ekonomi sangat mempengaruhi kualitas pendidikan Indonesia, bukan masalah bagi kaum Borjuis, Feodal, atau Kapitalis, mereka dapat dengan mudah membeli pendidikan. nah, Bagaimana dengan kaum marjinal ? Dari data Kemdikbud setiap tahunnya tidak kurang dari 1,5 juta anak tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan  ada sekitar 11,7 juta anak yang buta tulis dan aksara. Dan menurut data UNSCO 2011 tingginya angka putus sekolah dapat mengakibatkan peringkat indeks pembangunan masih tertinggal jauh dibandingkan Negara-negara lain. Ekonomi berdampak langsung kepada Pendidikan juga Infrastukrur.
            Menurut media suara pembaruan, ada empat hal yang mengakibatkan angka putus sekolah masih cukup tinggi. pertama, kemiskinan yang hingga kini belum sepenuhnya teratasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada Maret 2011, terdapat 30,02 juta orang miskin atau hanya turun 1 juta orang dibanding tahun sebelumnya. Kemiskinan jelas menjadi momok dalam dunia pendidikan. Kedua, minimnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan, terutama pada  keluarga miskin. Selama ini mereka hanya berpikir pendek untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak heran bila anak-anak lebih disuruh bekerja ketimbang sekolah, mengingatkan saya pada adegan film Guru besar Tjokroaminoto, yang terjadi perbedaan pendapat anggota Serikat Islam apakah memilih pendidikan yang layak atau tanah sebagai ladang bekerja masyarakat (lagi-lagi masalah Klasik yang terjadi di Zaman Modern).  Ketiga, kondisi geografis yang menjadi kendala anak-anak bersekolah. Di kawasan timur Indonesia, ada banyak anak yang harus berjalan berpuluh kilometer atau berperahu mengarungi lautan agar bisa sekolah. Kondisi geografis yang tak menguntungkan itu membuat sebagian anak lebih senang berdiam di rumah daripada menimba ilmu di sekolah. Keempat, alokasi anggaran pendidikan yang tak tepat sasaran dan minim pengawasan. Peningkatan anggaran pendidikan yang signifikan ternyata belum diikuti pemanfaatan yang tepat. Sebagian besar anggaran pendidikan justru lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, daripada meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana-prasarana pendidikan.
            Pendidikan adalah investasi masa depan, miniatur peradaban, dan simbol kemapanan pada suatu bangsa. Amburadulnya suatu negara adalah cerminan dari bobroknya pendidikan pada negara tersebut. Ilmu lah yang akan menyelamatkan kita dari sedusta-dustanya suatu perkataan. menuntut ilmu ibarat perjalanan yang tidak akan ada habisnya, maka tidak boleh ada kepuasan dalam prosesnya. Dalam suatu hadis Nabi Muhammad SAW bersabda :
مَنْ أَرَا دَالدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَالْاآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
             ”Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akherat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu”. (HR. Turmudzi)
Kata-kata wajib selalu mengikuti kata Ilmu, saking pentingnya Ilmu bagi kehidupan kita. Selain wajib, kita sudah seharusnya menjadi manusia yang benar-benar mencintai Ilmu, karena seiring berjalannya waktu yang tidak dapat dipisahkan dari raga manusia adalah mempelajari sesuatu. namun yang menjadi masalah adalah kurangnya kemauan dalam menuntut Ilmu. adapun cara yang paling praktis dalam menuntut Ilmu adalah membaca, you are what you read, suatu kalimat yang saya ambil dari seorang penulis fiksi. yang bermakna bahwa setiap penulis mentransformasikan pengetahuannya lewat buku yang dia tulis dan yang telah kita baca. membaca membuat kita belajar tanpa membutuhkan guru yang menerangkan pelajaran, membuat kita nyaman karena cukup otak kita yang menjelajahi seluruh isi bacaan. membuat kita kaya akan kosa kata baru yang terdapat dalam buku dan secara tidak langsung melatih kita dalam berbahasa yang baik dan benar. namun hal ini pula yang menjadi kelemahan kita. Pada tahun 2011, UNESCO merilis data bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari seribu penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. ini sungguh memprihatinkan, sebagai bangsa yang kurang memiliki minat untuk belajar.
3 semboyan yang didengungkan Ki Hajar Dewantara :
Ing Ngarsa Sung Tuladha : Di Depan Memberi Teladan
Ing Madya Mangun Karsa : Di Tengah Membangkitkan Kehendak
Tut Wuri Handayani : Di Belakang Menggerakkan
bila kita memahami baik baik 3 semboyan diatas, kesenjangan Pendidikan atau aspek apapun yang menjadi masalah bangsa dapat kita tahu tata cara penanganannya. dipahami lalu diniatkan dalam hati kemudian diamalkan dengan dengan baik dan benar. mari cintai Pendidikan Indonesia dengan membuatnya tumbuh menjadi lebih baik atas prinsip-prinsip pahlawan dan junjungan kita terdahulu.
Selamat Hari Pendidikan Nasional
2 Mei 2015

Muhammad Hanif Al-Basyar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author