Aku Ingin terbang
Sore yang cukup hangat dengan aroma
kopi memenuhi setiap sisi dapur Lisa, menyeduh kopi adalah kebiasaanya, seduhan
kopi hitam tanpa gula dengan sedikit susu cukup membuat sorenya semakin
menyenangkan. Ia pun beranjak dari dapurnya menenteng gelasnya menuju ruang
tengah rumah, ingin menikmati kopinya dengan cahaya sore yang masuk lewat
lubang dijendela, memantul diubin lalu ke segala sudut membuat ruangannya
cerah. Ia duduk disofa kemudian menaruh kopi dimeja kaca sepanjang sedepa dan
selebar setengah depa. Memantik api dari sippo dan membakar sebatang mild yang
telah terjepit diantara bibir merahnya. Sekali dua kali hisapan dan hembusan
keudara seakan akan makin menenangkannya. Walaupun hampir setiap sore ia
merasakan suasana semacam itu, tidak pernah sedikitpun ia merasa bosan.
Suasana tersebut akhirnya pecah,
ketika tiba tiba seseorang lelaki masuk kerumahnya dengan terhuyung huyung
menabrak segala sesuatu yang ia hadapi termasuk meja yang dihadapi Lisa, namun beruntung,
sepersekian detik Lisa dengan cekatan menarik kopi kesayangannya tanpa tumpah,
walaupun sedikit berguncang. Lelaki itupun ambruk di kaki lisa, kemudian
berbalik menghadap keatas, wajahnya merah dan terdapat kumis dan jenggot tipis
di sekitaran mulutnya,. Lisa dengan cepat mengenalnya.
“ada apa denganmu Mario?”
“aku ingin terbang, aku bisa
terbang”
“kau mabuk”
Setelah menaruh kopinya di tempat
yang aman, ia meraih lengan Mario. Mendadak tuduhannya berubah, telapak
tangannya pun berpindah menuju dahi Mario, memegang dengan terbalik. Tubuhnya
demam tinggi. Lisa kemudian mengangkat tubuh Mario, dengan kekuatan seorang
wanita ia masih mampu membopong tubuh Mario menuju kamarnya lalu merebahkannya
keatas ranjang. Mario kembali meringkuk, tangannya melingkar didada, menahan
panas di kepala dengan tubuh yang menggigil.
***
Langkahnya semakin cepat, semakin
terburu buru, menelusuri gang sempit dengan tembok yang dipenuhi lumut hitam,
beberapa sudut tembok mengeluarkan hawa pesing yang menusuk rongga hidungnya,
Jane tidak peduli, Jane hanya peduli kepada kakaknya yang sudah 10 hari
menghilang entah kemana. wajahnya nampak gelisah dengan nafas yang agak
tersengal menahan lelah. Namun kegelisahannya nampak mulai tenang ketika
mendapati pesan berisi : Kakakmu sedang Sekarat, Lisa.
Ia tahu siapa Lisa, walaupun tidak begitu
mengenalnya. Sepengetahuan Jane, Lisa adalah sahabat kakaknya. Dengan segera ia
berangkat menuju alamat yang diberikan oleh Lisa, ia sedikit merasa bingung,
jika memang kakaknya sakit dan sekarat mengapa Lisa baru memberitahu sekarang?
Dan kenapa kakaknya ada dirumah Lisa ? kalau sekarat, apakah kakaknya mendapat perawatan medis ?. langkah
Jane makin tergesa gesa, membuat langkah selebar lebarnya, walupun kecil karena
kakinya yang pendek. Masih teringat ketika sepuluh hari sebelumnya Mario kakaknya
dengan kemeja kotak kotak putih cokelat, hanya melemparkan senyum tipis ke
Jane, senyum tipis yang biasa ia berikan kepada adiknya sebelum berangkat
sebagai tanda pamit, jauh atau dekat tujuannya.
“Mau kemana kak?”
“Maharani”
***
Gadis itu sungguh canggih, pikir
Mario. Tidak habis pikir dirinya yang sudah hampir tiga tahun di sekolahnya
belum pernah mendapat gelar juara sekolah, sedangkan gadis itu ? belum cukup
setahun, sudah menjadi percontohan di sekolah karena kepintarannya. Dari dulu
rasanya ia juga ingin menjadi contoh di sekolah, terserah mau dicontoh dari
sisi apa, sisi berandalan juga boleh. Tapi itulah masalahnya, Mario termasuk
siswa berandalan dan masuk dalam geng bersama berandalan-berandalan lain
disekolahnya. Ia merasa jika ia punya geng ia bisa jadi populer di sekolahnya.
Mario sangat berhasrat untuk dikenal dan dikenang oleh banyak orang. Ia sering
mencari poularitas dengan jalan yang keras, ia suka berkelahi dan memeras uang
adik kelasnya, bahkan dahulu ia pernah merobohkan dua kakak kelasnya melalui
satu pertarungan sengit. Ia tidak peduli dengan tulang kaki dan tangan yang
retak selepas pertarungan tersebut. Ini mengenai kepuasan pikirnya.
Selayaknya berandalan lain, mereka
juga punya tempat berkumpul sendiri di sekolahnya. Ruangan dua kali dua di salah
satu sudut sekolah, ruangan yang tidak terpakai yang kini jadi gudang mereka
manfaatkan sebagai tongkrongan mereka. Dipakai untuk bolos, bersembunyi untuk
merokok, bahkan mabuk. Kini anggota mereka semakin hari semakin berkurang dan
hampir punah, oleh karena kebencian siswa-siswa lain kepada mereka. Tinggal
lima orang, dan kini bersiap membuat Ritual harian di gudang persembunyian
mereka. Hari itu hari Senin waktu Upacara sekolah, Tak sekali pun Upacara rutin
pernah mereka ikuti.
Di
gudang semua telah hadir, kecuali Mario yang masih ditunggu. Ritual ini belum
bisa dimulai tanpa Mario, karena dialah fasilitatornya. Tidak lama Mario
datang, mereka segera membuat formasi dan menutup pintu gudang, ada yang duduk
dilantai, bersandar di tembok, diatas bangku yang penting tiada yang dapat
melihatnya dari luar. Debu bertebaran di mana-mana, menggangu pernafasan namun
tidak ada yang peduli ketika Mario mengeluarkan sebuah benda dari sakunya,
berbentuk tabung kecil dengan sedikit
karat di beberapa sisinya selayaknya kaleng kaleng lainnya. Mario kemudian
membuka penutupnya, memandangi isi kaleng yang berwarna emas, sangat menggoda
matanya. Tak pikir lama lubang hidungnya kemudian ia sodorkan ke mulut kaleng,
sedikit menggoyang-goyang kaleng dan layaknya professional ia menghirup hawa
isi kaleng dengan panjang sampai nafasnya putus. Setelah beberapa kali isapan,
kaleng itu digilir ke temannya yang lain dan yang lainnya lagi, begitu terus
hingga kepala mereka seperti berputar
putar dan merasa seperti Jagoan.
“selama
kucing hitam ini ada disakuku,” sambil mengangkat kaleng dan memandanginya
Mario melanjutkan, “kita tidak perlu B.J. Habibie untuk Terbang”
Keempat
temannya cuma diam dengan kelopak mata yang berusaha ditahan agar tidak
terkatup, kepala mereka bersandar di
meja, bangku, tembok, lantai, atau apapun yang bisa disandari. Mata mereka
menghadap ke langit langit gudang, berputar-putar memandangi sarang laba laba
yang bertebaran dimana. Mario sendiri merebahkan badannya kelantai lalu
melebarkan tangannya dan menggoyang goyangkannya kesana kemari sehingga debu
mengotori badannya tapi ia tidak peduli. Ia terbang.
Beberapa menit berselang, tiba-tiba sebuah
kaki menghantam pintu dengan sebuah tendangan. Pintu terbuka dengan paksa,
dengan mata terkantuk kantuk Mario melihat bayangan di depan pintu. Belum
sempat ia mengenalnya dengan baik, kerah lehernya ditarik dengan paksa oleh
bayangan itu, tubuhnya terangkat lalu dilemparkan begitu saja keluar dari
gudang. Seperti boneka satu persatu mereka melayang dari gudang dan mendarat ditanah.
Mereka kemudian diseret dengan paksa menuju lapangan Upacara dengan dorongan
sol sepatu laras dibokong mereka hingga ambruk dan mencium tanah berkali kali.
Namun percayalah, mereka tidak satupun merasakan sakit, mereka masih merasa ada
diudara.
Di
lapangan upacara itulah mereka dibaris berjajar, dihukum dan dipermalukan di
depan ratusan siswa yang lain. Pada upacara itulah vonis hukuman mereka
langsung dijatuhkan, skorsing selama sebulan, mereka beruntung tidak
dikeluarkan. Namun raut wajah Mario terlihat sangat bangga, ia seperti tidak
mempermasalahkan hal tersebut, ia senang karena semua mata penghuni sekolahnya
sedang memperhatikannya, kepala sekolah, guru-guru, adik kelas, pegawai, penjaga
sekolah, ayam dan kucing tanpa terkecuali memandangnya. Ia merasa populer.
Namun
perasaan bangganya cuma sebentar ketika dia mendengar pengumuman tentang Siswa
teladan. Siswa yang diibaratkan duta sekolah sebagai percontohan bagi siswa-siwa
yang lain, mungkin karena kepintaran, kerajinan, atau apalah yang penting bukan
karena murid itu berandalan. Mario bingung kerena tidak pernah tahu tentang
adanya siswa teladan. Hatinya hancur seketika, karena bukan cuma mata yang
tertuju pada siswa tersebut, tapi gemuruh tepuk tangan, teriakan, bahkan siulan
memenuhi lapangan upacara ketika itu. Siswa yang dimaksud berjalan anggun
menuju kedepan mimbar upacara untuk menerima piagam penghargaan. Saat itulah ia
pertama kali melihat gadis canggih itu. Gadis kelas satu, Maharani.
***
Selepas
kepergian kakaknya sepuluh hari yang lalu, Jane tidak pernah segelisah kali
ini. Kakaknya tidak pernah seharipun tidak berada dirumah. Hidup kakaknya
demikian teratur seperti pria pria yang lain. Bangun pagi, pergi kerja, pulang kerja,
begitu setiap hari. Apapun kesibukannya diluar dia tidak pernah melupakan
rumah. Tidak seperti dua belas tahun lalu saat masih SMA, berandalan yang tidak
bisa diatur. Jarang pulang kerumah, jika pulang mungkin hanya untuk mengganti
baju, dan sesekali baju yang dia gunakan terdapat bercak darah bekas
perkelahian. Ini tidak lepas dari pengaruh kedua orang tua mereka yang tidak
pernah akur. Hampir setiap hari kedua orang tua mereka saling membentak dan
mencaci maki. Kata kata kotor dan kasar sering memekakkan telinga Mario dan
Jane. Anjing, babi, dan semua binatang najis lain sering bersahut sahutan
memenuhi rumah mereka. Sesekali adu fisik terjadi, dan menjadi tontonan lazim
bagi Mario dan Jane. Ini secara langsung menggagu psikologi dan menggelapkan hati
mereka, yang tidak pernah mendapat sedikitpun kebahagiaan dari orang tua.
Mario
tumbuh menjadi anak yang kasar, namun walaupun begitu Mario tidak pernah
menyentuh adiknya secara kasar baik dengan fisik maupun kata-kata. Ini yang
membuat Jane sangat menyayangi kakaknya dan selalu khawatir kepadanya. Suatu
saat kekhawatirannya berubah karena perubahan drastis yang dialami kakaknya.
Mario terlihat lebih tenang dan berpenampilan semakin hari semakin rapih. Jane
pun menyelidikinya, membuntutinya hingga kesekolah, bertanya dengan teman
temannya, namun tetap hasilnya nihil. Ia sangat penasaran terhadap kakaknya,
ingin ia tanyakan sendiri tapi takut. Sampai suatu saat kakaknya sendiri yang
memperkenalkan Maharani kepadanya, Jane kemudian memandangi Maharani. Senyumnya
melengkung manis.
Kini
langkah Jane terhenti didepan rumah dengan alamat yang tertera, saat itu langit
mendung dan malam hampir tiba. Jane kemudian melangkah masuk membuka pagar yang
tidak terkunci. rumah itu terlihat sederhana namun asri, Taman taman terawat
rapih di halamannya yang tidak luas dan tidak sempit pula, banyak bunga dimana
mana mengeluarkan wangi alami yang memanjakan pernafasan Jane. Ia kemudian
mengetuk pintu tanda ada tamu yang datang. Tidak lama berselang pintu terbuka ,
diikuti kemunculan seorang wanita dengan rokok terselip di jarinya yang tidak
lain adalah Lisa.
Setelah
dipersilahkan masuk, Jane kemudian mengikuti pungung Lisa yang mengantarkannya
menuju kamar tempat Mario berada. Walau Jane berusaha tenang, raut wajahnya berusaha
menyembunyikan kegelisahaannya. Jane memandangi punggung Lisa, asap rokok
mengiringi mereka dari depan membuat Jane merasa agak sesak. Ketika mendapati
asbak Lisa kemudian berhenti mematikan rokoknya.
“aku
sudah memintanya, namun ia tidak butuh Dokter dan Rumah Sakit” sambil
memunggungi Jane, Lisa memecah keheningan. membuat Jane makin penasaran. Hingga
mereka sampai di kamar yang dituju, tempat Mario meringkuk diatas ranjang
sambil melingkarkan lengan ke badannya, menahan demam di kepala dan dingin
menggigil di kakinya. Badan Mario mengeluarkan bau tengik akibat cucuran
keringat yang melengket dibadannya dan belum pernah di cuci selama sepuluh hari.
Masih dengan baju kotak kotaknya sepuluh hari yang lalu, putih cokelat yang sudah
lusuh. Badannya tampak lebih kurus dengan bibirnya yang pucat.
Mulutnya
mengigau pelan, “aku ingin terbang, aku bisa terbang”,
menusuk
nusuk telinga dan hati Jane.
***
hari
itu Mario menuju kesekolahnya dengan terburu-buru, hari di mana skorsingnya
berakhir. Selama sebulan ia merasa tidak tenang karena penasaran dengan gadis
itu, gadis yang menerima piagam siswa teladan, ia tidak melihat dengan jelas
bagaimana rupanya, matanya kabur saat itu. Ketika tiba disekolahnya pertama
kali yang ia lakukan adalah berkeliling dan mencari, menelusuri koridor
sekolah, bertanya kesana kemari, dan akhirnya dia tahu si gadis adalah anak Mbok
Sina, penjual nasi goring di kantin sekolahnya.
Tidak
membuang waktu ia segera menuju kantin, mencari si gadis, entah mau dia apakan
gadis itu. Memberinya kata kata kasar ? atau malah mengajaknya berkelahi ? itu
tidak mungkin, walaupun berandalan sekolah ia masih memiliki kehormatan dengan
tidak membentak atau memukul lawan jenis, ia tidak ingin disamakan dengan
ayahnya. Walaupun dengan emosi yang meluap luap ia hanya ingin bertemu
dengannya, hanya ingin sekedar tahu, dan mungkin memberi sedikit peringatan.
Tidak
lama ia telah tiba dikantin sekolahnya dan menemukan kedai Mbok Sina dipenuhi
banyak siswa yang sedang berdesak desakan. Baru pertama kali ia melihat
pemandangan seperti ini. Seperti antrian daging kurban banyaknya, sampai sampai
menutup seluruh kedai Mbok Sina. Kala itu tepat jam istirahat, di mana siswa
siswa telah menggigil menahan lapar. Ia segera maju mendekat lalu berusaha
menerobos masuk, namun Sikut siswa yang kelaparan menghantamnya dari segala
arah ketika hendak menerobos, ia gagal. Tapi jangan panggil ia berandalan jika
ia menyerah begitu saja. Ia kembali menerobos dan memaksa masuk, tapi kali ini
bukan cuma sikut yang ia temukan, satu tonjokan di wajah kambali ia dapatkan
tanpa tahu siapa pelakunya. Ia mulai geram, ia kembali menerobos namun kali ini
dengan ancang ancang sejauh tiga meter, dengan meniru gaya Ronaldo saat mengambil
tendangan bebas. Ia pun berlari menerobos masuk ke kerumunan, namun kali ini
bukan sikut atau tonjokan yang ia dapatkan. Sol sepatu menghantam tubuhnya
membuatnya terpental jauh keluar. Ia benar benar marah kali ini, ia juga tidak
mau menyerah. Kena pukul tanpa pelaku adalah penghinaan. Ancang anangnya
semakin jauh, 10 meter lebih sehasta. Ia kini berlari menuju kerumunan dengan
sedikit teriakan, ketika hampir tiba satu meter dari kerumunan ia melompat dan
mengarahkan kaki kanannya kearah kerumunan menerobos dengan tendangan layaknya
bruce lee. Ia sedikit berhasil menerobos dengan kakinya, ia kemudian
menggunakan tangannya untuk menahan dan menghantam sikut yang datang dari
segala arah. Hingga akhirnya ia memaksa maju dan berhasil tiba di garis depan.
Ia
kemudian mendapati seorang gadis masih berseragam sekolah tidak jauh dari
hadapannya, sedang menghadapi wajan penggorengan dengan adukan nasi, telur, dan
bumbu bumbu di dalamnya. Rambutnya terikat rapih kebelakang, di kulit wajahnya
yang putih terdapat sedikit keringat akibat panasnya hawa kompor dan desakan
para pembeli. Gadis itu tampak serius dengan masakannya, mengaduk kesana kemari dengan cekatan seperti koki di restoran cina. Hidung Mario menangkap aroma
harum, seperti tumisan bawang, telur, nasi juga sedikit aroma pedas, sungguh
menggoda, membuat liur dimulutnya bereproduksi secara drastis. Mata Mario masih
melotot kearah si gadis, terpaku diantara kerumunan siswa yang kelaparan.
Sungguh
canggih, dia juga bisa masak, pikir Mario. Ini kecanggihan kedua yang membuat
kedai Nasi goreng Mbok Sina menjadi populer. Mata Mario masih terpaku, kini
masakan si gadis telah selesai, si gadis kemudian mengangkat masakannya dengan
pelan lalu menaruhnya ke atas piring. Si Gadis mencari pemesan nasi tersebut
diantara kerumunan, matanya menerawang kesegala arah tapi berhenti di sosok
mario yang daritadi telah memperhatikannya. Sambil mengelap peluh di dahinya si
gadis melengkungkan senyum kepada Mario. Melihat pemandangan itu Mario
terhenyak, menahan nafasnya, makin terpaku.
“ini
pesanan Abang ?” sedikit bingung si gadis bertanya
Belum
bisa mengendalikan pikirannya, cuma kata ”iya” yang bisa keluar dari mulutnya
lalu duduk diam menerima pesanan palsunya seperti seekor anjing yang mendapat
tulang.
Mario
pulang setelah membayar dengan beberapa uang seribuan kepada Mbok Sina. Misinya
untuk bertemu berhasil namun tidak sepenuhnya berhasil karena hanya berhasil
menyampaikan satu kata dari tiga huruf yang tidak berarti sebuah peringatan
kepada si gadis. Pikirannya melayang layang seperti di udara, masih membekas
efek dari Senyum dan nasi goreng tadi. Ketika sampai dirumahnya, ia hanya
membuang badannya keatas ranjang, melipatkan tangan kekepala dan menghadap ke
langit langit kamar. Tiga hari tiga malam ia insomnia mendadak karena efek si
gadis. Mau marah, tapi entah kepada siapa. Kadang pula ia senyum senyum sendiri
ke langit langit kamaranya. Ia merasa
kebingungan dengan dirinya. Ia seperti didorong lalu terperosok kedalam
lubang oleh si gadis hingga ia harus balas dendam. Jika dendam belum terbalas,
dadanya masih terasa sesak.
Ia
kemudian mengambil secarik kertas dan pena, berharap bisa menulis pesan buat si
gadis. Belum sempat menggoreskan penanya, ia kembali bingung. Bingung dengan
terhadap isi pesan yang bagaimana harus disampaikan, hingga akhirnya ia kembali
Insomnia selama dua hari. Lima hari tidak tidur cukup membuat kepalanya pusing
namun akhirnya suratnya telah selesai ia kerjakan.
Ia
kembali berniat menemui si gadis, tapi tidak sebodoh cara pertemuannya yang
pertama. Ia menunggu bel sekolah berbunyi, dengan memperbaiki penampilannya ia
menuju kedai Mbok Sina. Di kedai itu si gadis sedang membereskan peralatan
masak kedainya. Ia segera menemuinya, menatap si gadis dengan tatapan orang
yang tidak tidur selama lima hari, lalu memberikan surat tersebut lalu pergi
begitu saja tanpa sepatah kata. Si gadis kebingungan, dengan sedikit penasaran
ia membuka surat tersebut dan membacanya. Tidak lama si gadis senyum tipis lalu
menutup mulutnya agar suara tawanya tidak begitu kedengaran oleh ibunya.
Wajahnya dibuat merah merona oleh sepenggal kalimat :
Senyumanmu lebih
memabukkan dari Lem yang biasa kuhisap.
***
Semenjak
surat itu diberikan oleh Mario, dan juga diterima oleh Maharani, mereka sering
berbalas pesan. Mario yang tidak menyangka mendapat balasan surat dari
Maharani, kembali mengiriminya dengan surat yang semakin lama semakin panjang
isinya. Tidak butuh waktu lama mereka semakin dekat dan menjadi sepasang
kekasih. Mario yang dulunya seorang berandalan kini berubah drastis, ia
berpikir buat apa menjadi orang populer jika ia memiliki seseorang Gadis yang
populer di hatinya. Lem kini bukan lagi mainannya, keempat anggota geng yang
lain tidak pernah lagi mengisi gudang sekolah, ini dikarenakan tiada lagi
Fasilitator mereka dalam hal ritual melayang mereka.
Dengan
sikapnya yang berubah membuat Jane senang, ia tidak perlu lagi khawatir dengan
Mario yang dulunya hidup sebagai berandalan tanpa arah. Sekolahnya menjadi
lebih aman, tanpa ada lagi perkelahian dan pemerasan dimana mana. Hingga
akhirnya Mario lulus dari sekolahnya dengan nilai yang tidak terlalu buruk. Dua
tahun setelahnya Maharani ikut lulus, setelah lulus keduanya menempuh jalan
yang sama untuk bekerja. ini dikarenakan Mario yang sudah bosan dengan dunia
pendidikan, sedangkan Maharani yang tidak memiliki dana untuk kuliah memilih
membantu ibunya di kedainya.
Bertahun
tahun mereka menjadi sepasang kekasih, mereka saling mencintai dan bahagia.
Walaupun seperti pasangan kekasih pada umumnya yang sering bertengkar. Mario
menyayangi Maharani karena dibuat bahagia oleh senyumannya. Sedangkan Maharani
yang merasa aman dan nyaman disisi Mario. Pernah suatu ketika Mario ingin
bertemu Maharani, dan berjanji bertemu di persimpangan jalan dekat kedai Mbok
Sina. Maharani pun berdandan semanis mungkin dengan hiasan tas kecil
menggantung di tangannya. Rambutnya dibiarkan terurai, masih basah habis mandi.
Sore
menjelang, Maharani menunggu di sisi jalan yang cukup sepi, dan akhirnya tidak
dibuat menunggu lama oleh kedatangan Mario yang pelan pelan datang dari
seberang jalan. Senyum andalan Maharani menyambut Mario, yang membuat Mario
berhenti sejenak memandanginya. Namun tiba tiba seorang berlari mendekati
maharani dan merampas tas yang tergantung di lengannya. Melihat hal itu membuat
Mario Berang, ia mengejar penjambret tersebut. Ia terus mengejarnya tanpa
lelah, menelusuri gang sempit, jalan setapak, bahkan melompati pagar dan
tembok, dua puluh kilo meter lebih mereka saling berkejaran hingga akhirnya
penjambret itu lelah lalu berhenti memegangi lututnya. si penjambret pun
mengangkat kepala ingin mengucap ampun dan menyerah, namun apa daya bogem
mentah lebih duluan mendarat ke wajahnya dan membuatnya jatuh, lalu kembali
dihantam dengan tulang kering mario sebelum badan si penjambret ambruk ke
tanah. Belum puas, Mario tanpa lelah sedikitpun mengirim ratusan pukulan dan
tendangan ke badan si penjambret membuatnya babak belur hampir mati. akhirnya
Maharani datang dan menghentikan mario yang sudah gelap mata lalu memungut
tasnya dari tangan si penjambret.
Sambil
mengangkat tasnya Maharani berkata “tidak perlu kau membunuh orang karena tas
yang tidak ada harganya ini !”
“ini
bukan soal tas, ia merampas senyuman yang kau berikan padaku, dan aku tidak
suka itu” dengan nafas tersengal sengal Mario membalas.
Tidak
tau harus berkata apa, Maharani hanya merebahkan tubuhnya ke Mario, memeluknya
dengan erat. Mario hanya diam, mengatur kembali nafasnya.
***
Mario
bekerja di sebuah pabrik, menjadi buruh tetap dengan penghasilan yang pas-pasan
namun cukup untuk kehidupannya, Maharani juga seorang wanita yang sederhana tidak
banyak tuntutan kepada Mario. Mario adalah pekerja yang rajin dan ulet, juga
tenang tanpa banyak bicara. Begitulah memang seharusnya seorang buruh.
Penghasilannya biasa ia sisihkan untuk menabung dan sekedar berjalan jalan
menghabiskan waktu dengan Maharani. Membagi kebahagiaan dengan cara yang
sederhana, bertamasya ke pantai, taman, ataupun pemandangan alam yang lain.
Mereka saling menjaga perasaaan hingga dua belas tahun mereka menjalin kisah
kasih.
Lisa
adalah sisi lain dari mario, teman kerja Mario. Sama-sama sebagai buruh, hampir
setiap hari mereka berangkat kerja bersama, di pabrik yang sama, dan ruangan
yang sama. Membuat Lisa punya kedekatan dengan Mario, Lisa suka sikap Mario
yang tenang dan tidak banyak bicara, berbeda dengan lelaki kebanyakan. ia
menaruh perasaan kepada Mario walaupun tahu mario telah punya kekasih. Mario
pun tahu kalau Lisa menyukainya, namun ia tidak peduli, Lisa hanya sahabat
baginya. Dia punya Maharani yang telah dua belas tahun bersamanya. Suatu waktu
waktu Lisa menyatakan perasaannya kepada Mario. Berharap Mario sedikit
mengerti,
“Aku
tidak bisa, kau tahu aku punya Maharani”
“kalau
begitu, bagilah sakitmu padaku”
“kalau
itu aku bisa”
Dua belas tahun yang membahagiakan
bagi pasangan kekasih Mario dan Maharani,membuat mereka berfikir untuk ke
jenjang yang lebih serius ; pernikahan. Sekali lagi materi bukanlah yang mereka
junjung tinggi. Hingga akhirnya Maharani meminta Mario bertemu kedua
orangtuanya unruk melamar. tanpa pikir panjang Mario segera mengiyakan dan berjanji
dalam beberapa hari akan ke rumah Maharani.
Beberapa
hari kemudian Mario berangkat menuju rumah Maharani, tidak berbekal apa apa
kecuali jiwa dan raganya. Pagi yang hangat bagi Mario karena akan melamar sang
kekasih, bukan kepalang rasa bahagianya kala itu. Ia pun tiba depan rumah
Maharani dan pelan pelan masuk menuju pintu rumah. Tapi ia merasa kebingungan kala
melihat Maharani dan Ibunya Mbok Sani duduk diruang tamunya dalam keadaan
menangis sedih. Maharani segera menjelaskan kejadiannya, Duka sedang menaungi keluarga
mereka. Ayahnya tersangkut utang yang besar kepada seorang rentenir kota.
Rentenir itu memberi waktu selama sebulan kepada keluarga Mbok Sani untuk
membayarkan utangnya. Jika tidak menyanggupi, Maharani akan jadi korban.
***
Suara mengigau kakaknya memenuhi
ruangan dan telinga orang yang berada didalamnya. Ngigauannya seperti tidak
pernah berhenti, tidak bosan, Aku ingin terbang, aku bisa terbang. Membuat
bosan telinga Jane dan Lisa.
“dua belas tahun lalu ia jatuh
terperosok,” Lisa membuka mulut lalu melanjutkan “dan sekarang ia ingin
terbang, seakan kematian ada di ujung langit”
Jane hanya diam mendengarkan, lalu
teringat terhadap Maharani, kekasih kakaknya.
“ada apa dengan Maharani ?” Jane
mulai bertanya
“besok lusa Gadis itu akan menikah”
“menikah ?”
“iya, dengan seorang Rentenir Kota”
Lisa kemudian keluar dari kamarnya,
pergi begitu saja meninggalkan Jane dengan pipi yang basah.
Hniff Al-basyar
3 Maret 2015