17 Jun 2015

[Poem] Datang Lagi

Akhirnya kau datang lagi
Hanya untuk beberapa puluh hari, ratusan hari kau rela menanti
Menawarkan beberapa kantong waktu, dan bebaskan aku memilih satu persatu
Aku tak rela jika kau sama dengan saudaramu yang lain
Yang menjauhkan aku dari yang terkasih
Karena dia yang tidak lagi peduli
Membuatku enggan mencaci
Dan Memilih diam sepi sendiri
Aku tak rela jika kau sama dengan saudaramu yang lain
Yang membiarkan lelapnya tidur pagiku
Memandikanku dengan kekecewaan
Atas dosa yang melekat di dinding kepalaku
pantas saja jika aku dibodohi oleh kebodohanku sendiri
Tolong biarkan subuhku sendu
Agar bisa layangkan semua keresahan
Munajatkan segala keinginan
Tolong Biarkan malamku syahdu
Larikan aku dari gemerlap keributan
Membuatku candu dengan ketekunan
Mei
akhirnya kau datang lagi
Dari tadi aku berkata, namun kau diam saja

2015
Continue Reading...

2 Jun 2015

[Cerpen] Anak Badak


krong! krong! kroong!
Bel berbunyi. bunyinya aneh. bel kaleng biskuit lebaran.
Salah satu temanku mengangkat bola plastik dengan tangan kiri lalu membiarkannya terjatuh. Dengan cepat ayunan kaki kanannya menyambar bola tersebut hingga melambung jauh ke atas lapangan. Lapangan kecil yang multifungsi, bisa jadi lapangan voli, takraw, basket, sepak bola, karate, tinju, smek down, atau bahkan kombinasi dari semuanya. segerombolan siswa mulai menunggu bolanya jatuh. Jumlahnya sekitar tiga puluhan, dua diantaranya jadi kiper.
Continue Reading...

1 Mei 2015

[artikel] Kesenjangan Pendidikan Nasional



Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.

Continue Reading...

3 Mar 2015

[Cerpen] Aku Ingin Terbang

           
            Aku Ingin terbang
            Sore yang cukup hangat dengan aroma kopi memenuhi setiap sisi dapur Lisa, menyeduh kopi adalah kebiasaanya, seduhan kopi hitam tanpa gula dengan sedikit susu cukup membuat sorenya semakin menyenangkan. Ia pun beranjak dari dapurnya menenteng gelasnya menuju ruang tengah rumah, ingin menikmati kopinya dengan cahaya sore yang masuk lewat lubang dijendela, memantul diubin lalu ke segala sudut membuat ruangannya cerah. Ia duduk disofa kemudian menaruh kopi dimeja kaca sepanjang sedepa dan selebar setengah depa. Memantik api dari sippo dan membakar sebatang mild yang telah terjepit diantara bibir merahnya. Sekali dua kali hisapan dan hembusan keudara seakan akan makin menenangkannya. Walaupun hampir setiap sore ia merasakan suasana semacam itu, tidak pernah sedikitpun ia merasa bosan.
            Suasana tersebut akhirnya pecah, ketika tiba tiba seseorang lelaki masuk kerumahnya dengan terhuyung huyung menabrak segala sesuatu yang ia hadapi termasuk meja yang dihadapi Lisa, namun beruntung, sepersekian detik Lisa dengan cekatan menarik kopi kesayangannya tanpa tumpah, walaupun sedikit berguncang. Lelaki itupun ambruk di kaki lisa, kemudian berbalik menghadap keatas, wajahnya merah dan terdapat kumis dan jenggot tipis di sekitaran mulutnya,. Lisa dengan cepat mengenalnya.
            “ada apa denganmu Mario?”
            “aku ingin terbang, aku bisa terbang”
            “kau mabuk”
            Setelah menaruh kopinya di tempat yang aman, ia meraih lengan Mario. Mendadak tuduhannya berubah, telapak tangannya pun berpindah menuju dahi Mario, memegang dengan terbalik. Tubuhnya demam tinggi. Lisa kemudian mengangkat tubuh Mario, dengan kekuatan seorang wanita ia masih mampu membopong tubuh Mario menuju kamarnya lalu merebahkannya keatas ranjang. Mario kembali meringkuk, tangannya melingkar didada, menahan panas di kepala dengan tubuh yang menggigil.
***
            Langkahnya semakin cepat, semakin terburu buru, menelusuri gang sempit dengan tembok yang dipenuhi lumut hitam, beberapa sudut tembok mengeluarkan hawa pesing yang menusuk rongga hidungnya, Jane tidak peduli, Jane hanya peduli kepada kakaknya yang sudah 10 hari menghilang entah kemana. wajahnya nampak gelisah dengan nafas yang agak tersengal menahan lelah. Namun kegelisahannya nampak mulai tenang ketika mendapati pesan berisi : Kakakmu sedang Sekarat, Lisa.
             Ia tahu siapa Lisa, walaupun tidak begitu mengenalnya. Sepengetahuan Jane, Lisa adalah sahabat kakaknya. Dengan segera ia berangkat menuju alamat yang diberikan oleh Lisa, ia sedikit merasa bingung, jika memang kakaknya sakit dan sekarat mengapa Lisa baru memberitahu sekarang? Dan kenapa kakaknya ada dirumah Lisa ? kalau sekarat, apakah  kakaknya mendapat perawatan medis ?. langkah Jane makin tergesa gesa, membuat langkah selebar lebarnya, walupun kecil karena kakinya yang pendek. Masih teringat ketika sepuluh hari sebelumnya Mario kakaknya dengan kemeja kotak kotak putih cokelat, hanya melemparkan senyum tipis ke Jane, senyum tipis yang biasa ia berikan kepada adiknya sebelum berangkat sebagai tanda pamit, jauh atau dekat tujuannya.
            “Mau kemana kak?”
            “Maharani”
***
            Gadis itu sungguh canggih, pikir Mario. Tidak habis pikir dirinya yang sudah hampir tiga tahun di sekolahnya belum pernah mendapat gelar juara sekolah, sedangkan gadis itu ? belum cukup setahun, sudah menjadi percontohan di sekolah karena kepintarannya. Dari dulu rasanya ia juga ingin menjadi contoh di sekolah, terserah mau dicontoh dari sisi apa, sisi berandalan juga boleh. Tapi itulah masalahnya, Mario termasuk siswa berandalan dan masuk dalam geng bersama berandalan-berandalan lain disekolahnya. Ia merasa jika ia punya geng ia bisa jadi populer di sekolahnya. Mario sangat berhasrat untuk dikenal dan dikenang oleh banyak orang. Ia sering mencari poularitas dengan jalan yang keras, ia suka berkelahi dan memeras uang adik kelasnya, bahkan dahulu ia pernah merobohkan dua kakak kelasnya melalui satu pertarungan sengit. Ia tidak peduli dengan tulang kaki dan tangan yang retak selepas pertarungan tersebut. Ini mengenai kepuasan pikirnya.
            Selayaknya berandalan lain, mereka juga punya tempat berkumpul sendiri di sekolahnya. Ruangan dua kali dua di salah satu sudut sekolah, ruangan yang tidak terpakai yang kini jadi gudang mereka manfaatkan sebagai tongkrongan mereka. Dipakai untuk bolos, bersembunyi untuk merokok, bahkan mabuk. Kini anggota mereka semakin hari semakin berkurang dan hampir punah, oleh karena kebencian siswa-siswa lain kepada mereka. Tinggal lima orang, dan kini bersiap membuat Ritual harian di gudang persembunyian mereka. Hari itu hari Senin waktu Upacara sekolah, Tak sekali pun Upacara rutin pernah mereka ikuti.
Di gudang semua telah hadir, kecuali Mario yang masih ditunggu. Ritual ini belum bisa dimulai tanpa Mario, karena dialah fasilitatornya. Tidak lama Mario datang, mereka segera membuat formasi dan menutup pintu gudang, ada yang duduk dilantai, bersandar di tembok, diatas bangku yang penting tiada yang dapat melihatnya dari luar. Debu bertebaran di mana-mana, menggangu pernafasan namun tidak ada yang peduli ketika Mario mengeluarkan sebuah benda dari sakunya, berbentuk tabung  kecil dengan sedikit karat di beberapa sisinya selayaknya kaleng kaleng lainnya. Mario kemudian membuka penutupnya, memandangi isi kaleng yang berwarna emas, sangat menggoda matanya. Tak pikir lama lubang hidungnya kemudian ia sodorkan ke mulut kaleng, sedikit menggoyang-goyang kaleng dan layaknya professional ia menghirup hawa isi kaleng dengan panjang sampai nafasnya putus. Setelah beberapa kali isapan, kaleng itu digilir ke temannya yang lain dan yang lainnya lagi, begitu terus hingga  kepala mereka seperti berputar putar dan merasa seperti Jagoan.
“selama kucing hitam ini ada disakuku,” sambil mengangkat kaleng dan memandanginya Mario melanjutkan, “kita tidak perlu B.J. Habibie untuk Terbang”
Keempat temannya cuma diam dengan kelopak mata yang berusaha ditahan agar tidak terkatup, kepala mereka bersandar  di meja, bangku, tembok, lantai, atau apapun yang bisa disandari. Mata mereka menghadap ke langit langit gudang, berputar-putar memandangi sarang laba laba yang bertebaran dimana. Mario sendiri merebahkan badannya kelantai lalu melebarkan tangannya dan menggoyang goyangkannya kesana kemari sehingga debu mengotori badannya tapi ia tidak peduli. Ia terbang.
 Beberapa menit berselang, tiba-tiba sebuah kaki menghantam pintu dengan sebuah tendangan. Pintu terbuka dengan paksa, dengan mata terkantuk kantuk Mario melihat bayangan di depan pintu. Belum sempat ia mengenalnya dengan baik, kerah lehernya ditarik dengan paksa oleh bayangan itu, tubuhnya terangkat lalu dilemparkan begitu saja keluar dari gudang. Seperti boneka satu persatu mereka melayang dari gudang dan mendarat ditanah. Mereka kemudian diseret dengan paksa menuju lapangan Upacara dengan dorongan sol sepatu laras dibokong mereka hingga ambruk dan mencium tanah berkali kali. Namun percayalah, mereka tidak satupun merasakan sakit, mereka masih merasa ada diudara.
Di lapangan upacara itulah mereka dibaris berjajar, dihukum dan dipermalukan di depan ratusan siswa yang lain. Pada upacara itulah vonis hukuman mereka langsung dijatuhkan, skorsing selama sebulan, mereka beruntung tidak dikeluarkan. Namun raut wajah Mario terlihat sangat bangga, ia seperti tidak mempermasalahkan hal tersebut, ia senang karena semua mata penghuni sekolahnya sedang memperhatikannya, kepala sekolah, guru-guru, adik kelas, pegawai, penjaga sekolah, ayam dan kucing tanpa terkecuali memandangnya. Ia merasa populer.
Namun perasaan bangganya cuma sebentar ketika dia mendengar pengumuman tentang Siswa teladan. Siswa yang diibaratkan duta sekolah sebagai percontohan bagi siswa-siwa yang lain, mungkin karena kepintaran, kerajinan, atau apalah yang penting bukan karena murid itu berandalan. Mario bingung kerena tidak pernah tahu tentang adanya siswa teladan. Hatinya hancur seketika, karena bukan cuma mata yang tertuju pada siswa tersebut, tapi gemuruh tepuk tangan, teriakan, bahkan siulan memenuhi lapangan upacara ketika itu. Siswa yang dimaksud berjalan anggun menuju kedepan mimbar upacara untuk menerima piagam penghargaan. Saat itulah ia pertama kali melihat gadis canggih itu. Gadis kelas satu, Maharani.
***

Selepas kepergian kakaknya sepuluh hari yang lalu, Jane tidak pernah segelisah kali ini. Kakaknya tidak pernah seharipun tidak berada dirumah. Hidup kakaknya demikian teratur seperti pria pria yang lain. Bangun pagi, pergi kerja, pulang kerja, begitu setiap hari. Apapun kesibukannya diluar dia tidak pernah melupakan rumah. Tidak seperti dua belas tahun lalu saat masih SMA, berandalan yang tidak bisa diatur. Jarang pulang kerumah, jika pulang mungkin hanya untuk mengganti baju, dan sesekali baju yang dia gunakan terdapat bercak darah bekas perkelahian. Ini tidak lepas dari pengaruh kedua orang tua mereka yang tidak pernah akur. Hampir setiap hari kedua orang tua mereka saling membentak dan mencaci maki. Kata kata kotor dan kasar sering memekakkan telinga Mario dan Jane. Anjing, babi, dan semua binatang najis lain sering bersahut sahutan memenuhi rumah mereka. Sesekali adu fisik terjadi, dan menjadi tontonan lazim bagi Mario dan Jane. Ini secara langsung menggagu psikologi dan menggelapkan hati mereka, yang tidak pernah mendapat sedikitpun kebahagiaan dari orang tua.
Mario tumbuh menjadi anak yang kasar, namun walaupun begitu Mario tidak pernah menyentuh adiknya secara kasar baik dengan fisik maupun kata-kata. Ini yang membuat Jane sangat menyayangi kakaknya dan selalu khawatir kepadanya. Suatu saat kekhawatirannya berubah karena perubahan drastis yang dialami kakaknya. Mario terlihat lebih tenang dan berpenampilan semakin hari semakin rapih. Jane pun menyelidikinya, membuntutinya hingga kesekolah, bertanya dengan teman temannya, namun tetap hasilnya nihil. Ia sangat penasaran terhadap kakaknya, ingin ia tanyakan sendiri tapi takut. Sampai suatu saat kakaknya sendiri yang memperkenalkan Maharani kepadanya, Jane kemudian memandangi Maharani. Senyumnya melengkung manis.
Kini langkah Jane terhenti didepan rumah dengan alamat yang tertera, saat itu langit mendung dan malam hampir tiba. Jane kemudian melangkah masuk membuka pagar yang tidak terkunci. rumah itu terlihat sederhana namun asri, Taman taman terawat rapih di halamannya yang tidak luas dan tidak sempit pula, banyak bunga dimana mana mengeluarkan wangi alami yang memanjakan pernafasan Jane. Ia kemudian mengetuk pintu tanda ada tamu yang datang. Tidak lama berselang pintu terbuka , diikuti kemunculan seorang wanita dengan rokok terselip di jarinya yang tidak lain adalah Lisa.
Setelah dipersilahkan masuk, Jane kemudian mengikuti pungung Lisa yang mengantarkannya menuju kamar tempat Mario berada. Walau Jane berusaha tenang, raut wajahnya berusaha menyembunyikan kegelisahaannya. Jane memandangi punggung Lisa, asap rokok mengiringi mereka dari depan membuat Jane merasa agak sesak. Ketika mendapati asbak Lisa kemudian berhenti mematikan rokoknya.
“aku sudah memintanya, namun ia tidak butuh Dokter dan Rumah Sakit” sambil memunggungi Jane, Lisa memecah keheningan. membuat Jane makin penasaran. Hingga mereka sampai di kamar yang dituju, tempat Mario meringkuk diatas ranjang sambil melingkarkan lengan ke badannya, menahan demam di kepala dan dingin menggigil di kakinya. Badan Mario mengeluarkan bau tengik akibat cucuran keringat yang melengket dibadannya dan belum pernah di cuci selama sepuluh hari. Masih dengan baju kotak kotaknya sepuluh hari yang lalu, putih cokelat yang sudah lusuh. Badannya tampak lebih kurus dengan bibirnya yang pucat.
Mulutnya mengigau pelan, “aku ingin terbang, aku bisa terbang”,
menusuk nusuk telinga dan hati Jane.
***
hari itu Mario menuju kesekolahnya dengan terburu-buru, hari di mana skorsingnya berakhir. Selama sebulan ia merasa tidak tenang karena penasaran dengan gadis itu, gadis yang menerima piagam siswa teladan, ia tidak melihat dengan jelas bagaimana rupanya, matanya kabur saat itu. Ketika tiba disekolahnya pertama kali yang ia lakukan adalah berkeliling dan mencari, menelusuri koridor sekolah, bertanya kesana kemari, dan akhirnya dia tahu si gadis adalah anak Mbok Sina, penjual nasi goring di kantin sekolahnya.
Tidak membuang waktu ia segera menuju kantin, mencari si gadis, entah mau dia apakan gadis itu. Memberinya kata kata kasar ? atau malah mengajaknya berkelahi ? itu tidak mungkin, walaupun berandalan sekolah ia masih memiliki kehormatan dengan tidak membentak atau memukul lawan jenis, ia tidak ingin disamakan dengan ayahnya. Walaupun dengan emosi yang meluap luap ia hanya ingin bertemu dengannya, hanya ingin sekedar tahu, dan mungkin memberi sedikit peringatan.
Tidak lama ia telah tiba dikantin sekolahnya dan menemukan kedai Mbok Sina dipenuhi banyak siswa yang sedang berdesak desakan. Baru pertama kali ia melihat pemandangan seperti ini. Seperti antrian daging kurban banyaknya, sampai sampai menutup seluruh kedai Mbok Sina. Kala itu tepat jam istirahat, di mana siswa siswa telah menggigil menahan lapar. Ia segera maju mendekat lalu berusaha menerobos masuk, namun Sikut siswa yang kelaparan menghantamnya dari segala arah ketika hendak menerobos, ia gagal. Tapi jangan panggil ia berandalan jika ia menyerah begitu saja. Ia kembali menerobos dan memaksa masuk, tapi kali ini bukan cuma sikut yang ia temukan, satu tonjokan di wajah kambali ia dapatkan tanpa tahu siapa pelakunya. Ia mulai geram, ia kembali menerobos namun kali ini dengan ancang ancang sejauh tiga meter, dengan meniru gaya Ronaldo saat mengambil tendangan bebas. Ia pun berlari menerobos masuk ke kerumunan, namun kali ini bukan sikut atau tonjokan yang ia dapatkan. Sol sepatu menghantam tubuhnya membuatnya terpental jauh keluar. Ia benar benar marah kali ini, ia juga tidak mau menyerah. Kena pukul tanpa pelaku adalah penghinaan. Ancang anangnya semakin jauh, 10 meter lebih sehasta. Ia kini berlari menuju kerumunan dengan sedikit teriakan, ketika hampir tiba satu meter dari kerumunan ia melompat dan mengarahkan kaki kanannya kearah kerumunan menerobos dengan tendangan layaknya bruce lee. Ia sedikit berhasil menerobos dengan kakinya, ia kemudian menggunakan tangannya untuk menahan dan menghantam sikut yang datang dari segala arah. Hingga akhirnya ia memaksa maju dan berhasil tiba di garis depan.
Ia kemudian mendapati seorang gadis masih berseragam sekolah tidak jauh dari hadapannya, sedang menghadapi wajan penggorengan dengan adukan nasi, telur, dan bumbu bumbu di dalamnya. Rambutnya terikat rapih kebelakang, di kulit wajahnya yang putih terdapat sedikit keringat akibat panasnya hawa kompor dan desakan para pembeli. Gadis itu tampak serius dengan masakannya, mengaduk  kesana kemari dengan cekatan seperti koki di  restoran cina. Hidung Mario menangkap aroma harum, seperti tumisan bawang, telur, nasi juga sedikit aroma pedas, sungguh menggoda, membuat liur dimulutnya bereproduksi secara drastis. Mata Mario masih melotot kearah si gadis, terpaku diantara kerumunan siswa yang kelaparan.
Sungguh canggih, dia juga bisa masak, pikir Mario. Ini kecanggihan kedua yang membuat kedai Nasi goreng Mbok Sina menjadi populer. Mata Mario masih terpaku, kini masakan si gadis telah selesai, si gadis kemudian mengangkat masakannya dengan pelan lalu menaruhnya ke atas piring. Si Gadis mencari pemesan nasi tersebut diantara kerumunan, matanya menerawang kesegala arah tapi berhenti di sosok mario yang daritadi telah memperhatikannya. Sambil mengelap peluh di dahinya si gadis melengkungkan senyum kepada Mario. Melihat pemandangan itu Mario terhenyak, menahan nafasnya, makin terpaku.
“ini pesanan Abang ?” sedikit bingung si gadis bertanya
Belum bisa mengendalikan pikirannya, cuma kata ”iya” yang bisa keluar dari mulutnya lalu duduk diam menerima pesanan palsunya seperti seekor anjing yang mendapat tulang.
Mario pulang setelah membayar dengan beberapa uang seribuan kepada Mbok Sina. Misinya untuk bertemu berhasil namun tidak sepenuhnya berhasil karena hanya berhasil menyampaikan satu kata dari tiga huruf yang tidak berarti sebuah peringatan kepada si gadis. Pikirannya melayang layang seperti di udara, masih membekas efek dari Senyum dan nasi goreng tadi. Ketika sampai dirumahnya, ia hanya membuang badannya keatas ranjang, melipatkan tangan kekepala dan menghadap ke langit langit kamar. Tiga hari tiga malam ia insomnia mendadak karena efek si gadis. Mau marah, tapi entah kepada siapa. Kadang pula ia senyum senyum sendiri ke langit langit kamaranya. Ia merasa  kebingungan dengan dirinya. Ia seperti didorong lalu terperosok kedalam lubang oleh si gadis hingga ia harus balas dendam. Jika dendam belum terbalas, dadanya masih terasa sesak.
Ia kemudian mengambil secarik kertas dan pena, berharap bisa menulis pesan buat si gadis. Belum sempat menggoreskan penanya, ia kembali bingung. Bingung dengan terhadap isi pesan yang bagaimana harus disampaikan, hingga akhirnya ia kembali Insomnia selama dua hari. Lima hari tidak tidur cukup membuat kepalanya pusing namun akhirnya suratnya telah selesai ia kerjakan.
Ia kembali berniat menemui si gadis, tapi tidak sebodoh cara pertemuannya yang pertama. Ia menunggu bel sekolah berbunyi, dengan memperbaiki penampilannya ia menuju kedai Mbok Sina. Di kedai itu si gadis sedang membereskan peralatan masak kedainya. Ia segera menemuinya, menatap si gadis dengan tatapan orang yang tidak tidur selama lima hari, lalu memberikan surat tersebut lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata. Si gadis kebingungan, dengan sedikit penasaran ia membuka surat tersebut dan membacanya. Tidak lama si gadis senyum tipis lalu menutup mulutnya agar suara tawanya tidak begitu kedengaran oleh ibunya. Wajahnya dibuat merah merona oleh sepenggal kalimat :
Senyumanmu lebih memabukkan dari Lem yang biasa kuhisap.
***
Semenjak surat itu diberikan oleh Mario, dan juga diterima oleh Maharani, mereka sering berbalas pesan. Mario yang tidak menyangka mendapat balasan surat dari Maharani, kembali mengiriminya dengan surat yang semakin lama semakin panjang isinya. Tidak butuh waktu lama mereka semakin dekat dan menjadi sepasang kekasih. Mario yang dulunya seorang berandalan kini berubah drastis, ia berpikir buat apa menjadi orang populer jika ia memiliki seseorang Gadis yang populer di hatinya. Lem kini bukan lagi mainannya, keempat anggota geng yang lain tidak pernah lagi mengisi gudang sekolah, ini dikarenakan tiada lagi Fasilitator mereka dalam hal ritual melayang mereka.
Dengan sikapnya yang berubah membuat Jane senang, ia tidak perlu lagi khawatir dengan Mario yang dulunya hidup sebagai berandalan tanpa arah. Sekolahnya menjadi lebih aman, tanpa ada lagi perkelahian dan pemerasan dimana mana. Hingga akhirnya Mario lulus dari sekolahnya dengan nilai yang tidak terlalu buruk. Dua tahun setelahnya Maharani ikut lulus, setelah lulus keduanya menempuh jalan yang sama untuk bekerja. ini dikarenakan Mario yang sudah bosan dengan dunia pendidikan, sedangkan Maharani yang tidak memiliki dana untuk kuliah memilih membantu ibunya di kedainya.
Bertahun tahun mereka menjadi sepasang kekasih, mereka saling mencintai dan bahagia. Walaupun seperti pasangan kekasih pada umumnya yang sering bertengkar. Mario menyayangi Maharani karena dibuat bahagia oleh senyumannya. Sedangkan Maharani yang merasa aman dan nyaman disisi Mario. Pernah suatu ketika Mario ingin bertemu Maharani, dan berjanji bertemu di persimpangan jalan dekat kedai Mbok Sina. Maharani pun berdandan semanis mungkin dengan hiasan tas kecil menggantung di tangannya. Rambutnya dibiarkan terurai, masih basah habis mandi.
Sore menjelang, Maharani menunggu di sisi jalan yang cukup sepi, dan akhirnya tidak dibuat menunggu lama oleh kedatangan Mario yang pelan pelan datang dari seberang jalan. Senyum andalan Maharani menyambut Mario, yang membuat Mario berhenti sejenak memandanginya. Namun tiba tiba seorang berlari mendekati maharani dan merampas tas yang tergantung di lengannya. Melihat hal itu membuat Mario Berang, ia mengejar penjambret tersebut. Ia terus mengejarnya tanpa lelah, menelusuri gang sempit, jalan setapak, bahkan melompati pagar dan tembok, dua puluh kilo meter lebih mereka saling berkejaran hingga akhirnya penjambret itu lelah lalu berhenti memegangi lututnya. si penjambret pun mengangkat kepala ingin mengucap ampun dan menyerah, namun apa daya bogem mentah lebih duluan mendarat ke wajahnya dan membuatnya jatuh, lalu kembali dihantam dengan tulang kering mario sebelum badan si penjambret ambruk ke tanah. Belum puas, Mario tanpa lelah sedikitpun mengirim ratusan pukulan dan tendangan ke badan si penjambret membuatnya babak belur hampir mati. akhirnya Maharani datang dan menghentikan mario yang sudah gelap mata lalu memungut tasnya dari tangan si penjambret.
Sambil mengangkat tasnya Maharani berkata “tidak perlu kau membunuh orang karena tas yang tidak ada harganya ini !”
“ini bukan soal tas, ia merampas senyuman yang kau berikan padaku, dan aku tidak suka itu” dengan nafas tersengal sengal Mario membalas.
Tidak tau harus berkata apa, Maharani hanya merebahkan tubuhnya ke Mario, memeluknya dengan erat. Mario hanya diam, mengatur kembali nafasnya.
***
Mario bekerja di sebuah pabrik, menjadi buruh tetap dengan penghasilan yang pas-pasan namun cukup untuk kehidupannya, Maharani juga seorang wanita yang sederhana tidak banyak tuntutan kepada Mario. Mario adalah pekerja yang rajin dan ulet, juga tenang tanpa banyak bicara. Begitulah memang seharusnya seorang buruh. Penghasilannya biasa ia sisihkan untuk menabung dan sekedar berjalan jalan menghabiskan waktu dengan Maharani. Membagi kebahagiaan dengan cara yang sederhana, bertamasya ke pantai, taman, ataupun pemandangan alam yang lain. Mereka saling menjaga perasaaan hingga dua belas tahun mereka menjalin kisah kasih.
Lisa adalah sisi lain dari mario, teman kerja Mario. Sama-sama sebagai buruh, hampir setiap hari mereka berangkat kerja bersama, di pabrik yang sama, dan ruangan yang sama. Membuat Lisa punya kedekatan dengan Mario, Lisa suka sikap Mario yang tenang dan tidak banyak bicara, berbeda dengan lelaki kebanyakan. ia menaruh perasaan kepada Mario walaupun tahu mario telah punya kekasih. Mario pun tahu kalau Lisa menyukainya, namun ia tidak peduli, Lisa hanya sahabat baginya. Dia punya Maharani yang telah dua belas tahun bersamanya. Suatu waktu waktu Lisa menyatakan perasaannya kepada Mario. Berharap Mario sedikit mengerti,
“Aku tidak bisa, kau tahu aku punya Maharani”
“kalau begitu, bagilah sakitmu padaku”
“kalau itu aku bisa”
            Dua belas tahun yang membahagiakan bagi pasangan kekasih Mario dan Maharani,membuat mereka berfikir untuk ke jenjang yang lebih serius ; pernikahan. Sekali lagi materi bukanlah yang mereka junjung tinggi. Hingga akhirnya Maharani meminta Mario bertemu kedua orangtuanya unruk melamar. tanpa pikir panjang Mario segera mengiyakan dan berjanji dalam beberapa hari akan ke rumah Maharani.
Beberapa hari kemudian Mario berangkat menuju rumah Maharani, tidak berbekal apa apa kecuali jiwa dan raganya. Pagi yang hangat bagi Mario karena akan melamar sang kekasih, bukan kepalang rasa bahagianya kala itu. Ia pun tiba depan rumah Maharani dan pelan pelan masuk menuju pintu rumah. Tapi ia merasa kebingungan kala melihat Maharani dan Ibunya Mbok Sani duduk diruang tamunya dalam keadaan menangis sedih. Maharani segera menjelaskan kejadiannya, Duka sedang menaungi keluarga mereka. Ayahnya tersangkut utang yang besar kepada seorang rentenir kota. Rentenir itu memberi waktu selama sebulan kepada keluarga Mbok Sani untuk membayarkan utangnya. Jika tidak menyanggupi, Maharani akan jadi korban.
***
            Suara mengigau kakaknya memenuhi ruangan dan telinga orang yang berada didalamnya. Ngigauannya seperti tidak pernah berhenti, tidak bosan, Aku ingin terbang, aku bisa terbang. Membuat bosan telinga Jane dan Lisa.
            “dua belas tahun lalu ia jatuh terperosok,” Lisa membuka mulut lalu melanjutkan “dan sekarang ia ingin terbang, seakan kematian ada di ujung langit”
            Jane hanya diam mendengarkan, lalu teringat terhadap Maharani, kekasih kakaknya.
            “ada apa dengan Maharani ?” Jane mulai bertanya
            “besok lusa Gadis itu akan menikah”
            “menikah ?”
            “iya, dengan seorang Rentenir Kota”
            Lisa kemudian keluar dari kamarnya, pergi begitu saja meninggalkan Jane dengan pipi yang basah.

Hniff Al-basyar
3 Maret 2015 
Continue Reading...

1 Jan 2015

Tahun Penuh Revisi



Merenunglah dikala hujan, nikmatilah ketika bersenang senang, bersyukurlah ketika berhadapan dengan masalah, menangislah ketika berdo’a, bersabarlah ketika merindu, bersedihlah ketika jatuh cinta, tersenyumlah ketika terluka, berlututlah ketika menyerah, melawanlah ketika tertindas, istirahatlah ketika lelah, berjuanglah ketika diberi jalan, carilah jalan ketika terjebak, berfikirlah sejenak ketika kebingungan.
Kehidupan dunia sangatlah singkat, akan lebih singkat jika raga enggan berbuat, jiwa dirundung ketakutan, hati dinaungi kegelisahan. Berlarilah hingga kaki tidak mampu lagi bergerak, hingga nafas tidak mampu lagi dihirup, hingga jalan tidak lagi nampak dipermukaan mata, hingga tujuan tak dapat lagi tersentuh oleh jemari. Walaupun singkat, tidak akan terasa singkat jika masih ada sedikit perjuangan didalamnya.
Untuk sekian kalinya Desember beralih kembali ke Januari, 12 bulan menghidar sekaligus membiarkan badan dari terjangan dosa, berbuat baik demi amalan baik, atau bahkan sekedar perhatian karena punya amalan baik. 12 bulan pula dirundung duka dan kegelisahan karena masalah yang datang silih berganti, serta kekecewaan karena keinginan yang belum tercapai, dan adapula yang dikaruniai kebahagiaan dari langit, sehingga tak mampu menahan ledakan senyum dan tawanya
Sedih, Senang, Kecewa, Tawa, Tangis, dan sebagainya adalah ekspresi dari seorang insan yang lemah akibat dari segala kejadian yang menimpa. Itulah kodrat, tidak ada yang salah dari itu semua. Yang salah apabila kita tidak mampu merasakan hal tersebut.
Segala kejadian dari tahun ke tahun akan mengakibatkan satu hal yang sangat penting dari kehidupan kita ; Belajar. Belajar sama halnya dengan Makan dan Minum, tidak bisa berhenti atau dihentikan. Entah sampai kapan, tidak akan ada akhirnya, tidak kan ada batas kecukupannya. Belajar adalah proses yang meningkatkan, baik menjadi lebih baik atau lebih buruk, semua ada peningkatan. Tidak ada yang stagnan ketika belajar. Pasti akan berkembang dari waktu ke waktu. Begitulah manusia.
Yang menjadi masalah adalah, akan kemanakah tujuan belajar ini ? menjadi baik atau buruk ? semua pasti sudah tahu pilihannya. Dalam suatu ruang dan waktu berkembang adalah suatu hal yang mutlak, cepat ataupun lambat. Dan semua sudah tahu pilihannya. Satu hal yang membuat kita menjadi lambat adalah kesalahan yang selalu kita lakukan secara berulang ulang, kita seakan akan lupa sehingga terus terusan diulang, membuat perjalanan kita tidak efisien dan berat atau disingkat memperlambat. Apa yang harus dilakukan untuk melakukannya ? satu hal ; intospeksi diri.
Introspeksi adalah proses pengamatan terhadap diri sendiri dan pengungkapan pemikiran dalam yang disadari, keinginan, dan sensasi.  Introspeksi mepunyai arti yang sama dengan refleksi diri. Kita harus merefleksikan diri, mencari kesalahan diri (tapi yang biasa terjadi adalah mencari kesalahan orang lain), mengumpulkannya dan dipelajari kembali.
Proses apa yang harus dilakukan selanjutnya ? adalah revisi atau memperbaharui atau memperbaiki hingga menjadi lebih baik. Lebih banyak kesalahan yang ketahuan, maka makin banyak revisi yang dilakukan, makin lebih baik proses belajar, makin baik diri kita.
12 bulan pastilah bukan waktu yang cepat, banyak kesalahan, dosa, dan khilaf. Instrospeksi dan Revisi adalah hal wajib yang harus dilakukan jika ingin menjadi lebih baik. Bukankah kita adalah orang yang sial jika kita tidak bisa menjadi lebih baik ? maka dari itu mari membuat 12 bulan selanjutnya adalah 12 bulan yang lebih baik dari 12 bulan yang sebelum sebelumnya.
Mari tetap berkarya dan banyak berdo’a, kita manusia lemah dan tidak berdaya tanpa kuasa-Nya. Pengetahuannya apa yang akan terjadi di masa depan kita dan apa yang telah terjadi jauh sebelum lahirnya kita.

Mari menjadi lebih baik…..

Muhammad Haniff Al-Basyar
1 Januari 2015
Continue Reading...

Followers

Follow The Author