2 Jun 2015

[Cerpen] Anak Badak

Share it Please

krong! krong! kroong!
Bel berbunyi. bunyinya aneh. bel kaleng biskuit lebaran.
Salah satu temanku mengangkat bola plastik dengan tangan kiri lalu membiarkannya terjatuh. Dengan cepat ayunan kaki kanannya menyambar bola tersebut hingga melambung jauh ke atas lapangan. Lapangan kecil yang multifungsi, bisa jadi lapangan voli, takraw, basket, sepak bola, karate, tinju, smek down, atau bahkan kombinasi dari semuanya. segerombolan siswa mulai menunggu bolanya jatuh. Jumlahnya sekitar tiga puluhan, dua diantaranya jadi kiper.

Bola menyentuh lapangan.Secepat kilat segerombolan kaki dan betis mulai saling berebut. Tidak lama seling berebut, satu siswa keluar dari gelombolan dengann mendribble bola, lalu pemain lain merebut dengan tackle. Saling sikut dan Body cas ikut menari-nari, hanya untuk mempertahankan penguasaan bola. Bola masih dan terus Berputar-putar di lapangan tengah, kadang disisi kanan kadang pula di sisi kiri lapangan. Masih dengan dribble lalu body cas lalu sikut lalu tackle lalu kembali lagi ke dribble. Begitu terus, tidak pernah terlihat passing, dan shooting. Kiper yang menganggur, cuma duduk dan sandar di tiang gawang. Aku di pinggir lapangan seperti menyaksikan sepak bola khas kuli bangunan. Tidak pakai teknik juga formasi. Tidak ada gol yang ditunggu-tunggu.
Ya begitulah, mereka cuma anak STM yang dididik menjadi teknisi seperti B.J. Habibie. bukan Ronaldo, bukan pula Messi.
Walaupun menyaksikan permainan yang monoton, tapi ini nampak seru. Kadang ada sepatu yang lepas, kancing baju yang lepas, karena tarikan dan dorongan yang sedikit beringas . Tidak pernah ada yang marah saat permainan, itu yang aku salut dari mereka. Kecuali Pak Herdin. Guru yang berkumis tebal dan berbadan gempal itu tidak suka melihat ada kelas olah raga saat jam istirahat. Jika kedapatan, Pak Herdin bakal berubah jadi Badak bercula. Percayalah.
Aku yang hanya menonton bukannya tidak mau ikut main, terlebih karena trauma. Pernah sekali waktu aku iseng ikut nimbrung dalam gerombolan. Namun esoknya, selama tiga hari aku tidak masuk sekolah karena tulang keringku bengkak.
Cukup lama permainan berlangsung, tiba tiba bola berhenti bergulir. Penyebab utamanya karena semua mata tertuju pada satu titik. Dadaku ikut berdegup saat permukaan mataku berfokus pada titik tersebut. Di seberang lapangan, seekor makhluk langka lewat. Rambutnya yang panjang bergoyang naik turun seirama dengan langkah kecilnya. Kulitnya yang putih dibalut pakaian putih abu-abu yang cukup ketat membakar mata dan hati yang melihatnya. Fika, siswi baru. satu dari beberapa wanita di sekolahku, sekolah menengah yang mayoritas batangan.
Bohong besar jika tidak ada satupun lelaki yang jatuh cinta kepadanya, segerombolan siswa bahkan guru-guru yang ada di sekitar lapangan tidak ingin menyia-nyiakan pemandangan itu. Namun sesaat sebelum Fika benar-benar berlalu, seorang siswa mengambil kesempatan untuk mencetak gol. Menendang bola arah gawang yang kipernya masih melamun. Tendangannya keras dan melambung, saking melambungnya tendangannya meleset. Bolanya mengenai wajah seorang guru berkumis tebal dan berbadan gempal yang saat itu juga sementara melamun. Pak Herdin.
Semua mata kini berbalik ke arahnya. Lapangan lengang sejenak. Tapi ketika Pak Herdin mencabut pentungan, segerombolan siswa tersebut langsung bubar seketika. Berlarian ke segala arah seperti merasa ada bencana. Berlari, bersembunyi, menari-nari apapun itu yang penting menyelamatkan diri. Pak Herdin membabi buta memburu mereka. Pentungan pun menempel dipaha, betis, atau punggung siswa yang ia dapati. Jika tidak terkejar, ia melempar pentungan ke arah targetnya. Tontonan ini makin seru, begitu pikirku. Lapangan seperti Collosium Roma dimana siswa adalah budak yang berlarian kesana kemari karena diburu binatang buas Pangeran Roma,kayak di Filem-filem. Lama ia berputar-putar di lapangan, tiba-tiba Pak Herdin melihatku. Aku berbalik ke kanan, dan ke kiri, tapi tidak ada siapa-siapa. kemudian kembali berbalik ke depan. Badak gempal berkumis tebal sedang berlari liar menuju ke arahku.
***
Aku memeluk badan, menutup baju yang kancingnya terlepas semua. Menelusuri trotoar menuju pemberhentian angkot yang akan mengantarku pulang. Panas terik matahari menusuk-nusuk kepalaku, membuat keringatku bercucuran. Keringat yang mengalir membasahi kepalaku, membasahi memar-memar di pelipis akibat kejadian tadi siang. Cukup geli, namun sedikit meredakan sakitnya. Sebuah angkot lewat di hadapanku, aku segera naik. Masih dengan memeluk badan, aku memilih duduk paling belakang.
“Pelipisnya kenapa kak?” suara halus menyapaku. Berasal tepat di depan tempat dudukku.
Aku sedikit terhenyak. Seorang wanita dengan seragam putih abu-abu. Fika. Ternyata rumahku satu jurusan dengannya.
“Bajunya juga kok ditutupi begitu?”
“a…anu… i…itu… ada Badak…” Sedikit terbata-bata aku mencoba menjawab.
“Badak?”
Segera kuatur nafasku, mencoba tenang. Kelihatan sebiasa mungkin.
“Anu… ehh, Di dekat lapangan tadi aku diseruduk badak, kerah bajuku diangkat tinggi-tinggi sama dia lalu dibuang ke lantai seperti kucing terus pelipisku terkena pot bunga saat aku jatuh, aku bingung kenapa badak itu menyerudukku padahal aku tidak melakukan apa-apa aku hanya diam dan menonton untung saja aku tidak ditendang sepatu laras atau dipukul pentungannya jika saja itu terjadi badanku pasti remuk bila badanku remuk aku tidak masuk sekolah, kalau aku tidak masuk sekolah….”
“Badaknya siapa kak?” Fika memotong.
“Pak Herdin…”
Ketawanya tiba-tiba pecah, memenuhi angkot. Aku memicingkan mata, menatapnya kebingungan.
“Berarti aku ini anak Badak dong?”
Aku diam sejenak, mencoba memahami pertanyaannya. Alunan tawanya kembali memenuhi sudut-sudut angkot disepanjang jalan pulang. Hampir semua penumpang memperhatikannya, kecuali aku yang kini tertunduk sambil memeluk badan dengan lesu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author