krong!
krong! kroong!
Bel
berbunyi. bunyinya aneh. bel kaleng biskuit lebaran.
Salah
satu temanku mengangkat bola plastik dengan tangan kiri lalu membiarkannya
terjatuh. Dengan cepat ayunan kaki kanannya menyambar bola tersebut hingga melambung
jauh ke atas lapangan. Lapangan kecil yang multifungsi, bisa jadi lapangan
voli, takraw, basket, sepak bola, karate, tinju, smek down, atau bahkan kombinasi dari semuanya. segerombolan siswa mulai
menunggu bolanya jatuh. Jumlahnya sekitar tiga puluhan, dua diantaranya jadi
kiper.
Bola
menyentuh lapangan.Secepat kilat segerombolan kaki dan betis mulai saling
berebut. Tidak lama seling berebut, satu siswa keluar dari gelombolan dengann
mendribble bola, lalu pemain lain merebut dengan tackle. Saling sikut dan Body
cas ikut menari-nari, hanya untuk mempertahankan penguasaan bola. Bola
masih dan terus Berputar-putar di lapangan tengah, kadang disisi kanan kadang
pula di sisi kiri lapangan. Masih dengan dribble
lalu body cas lalu sikut lalu tackle lalu kembali lagi ke dribble. Begitu terus, tidak pernah
terlihat passing, dan shooting. Kiper yang menganggur, cuma
duduk dan sandar di tiang gawang. Aku di pinggir lapangan seperti menyaksikan sepak
bola khas kuli bangunan. Tidak pakai teknik juga formasi. Tidak ada gol yang ditunggu-tunggu.
Ya
begitulah, mereka cuma anak STM yang dididik menjadi teknisi seperti B.J.
Habibie. bukan Ronaldo, bukan pula Messi.
Walaupun
menyaksikan permainan yang monoton, tapi ini nampak seru. Kadang ada sepatu
yang lepas, kancing baju yang lepas, karena tarikan dan dorongan yang sedikit
beringas . Tidak pernah ada yang marah saat permainan, itu yang aku salut dari
mereka. Kecuali Pak Herdin. Guru yang berkumis tebal dan berbadan gempal itu
tidak suka melihat ada kelas olah raga saat jam istirahat. Jika kedapatan, Pak
Herdin bakal berubah jadi Badak bercula. Percayalah.
Aku
yang hanya menonton bukannya tidak mau ikut main, terlebih karena trauma.
Pernah sekali waktu aku iseng ikut nimbrung dalam gerombolan. Namun esoknya,
selama tiga hari aku tidak masuk sekolah karena tulang keringku bengkak.
Cukup
lama permainan berlangsung, tiba tiba bola berhenti bergulir. Penyebab utamanya
karena semua mata tertuju pada satu titik. Dadaku ikut berdegup saat permukaan
mataku berfokus pada titik tersebut. Di seberang lapangan, seekor makhluk
langka lewat. Rambutnya yang panjang bergoyang naik turun seirama dengan
langkah kecilnya. Kulitnya yang putih dibalut pakaian putih abu-abu yang cukup
ketat membakar mata dan hati yang melihatnya. Fika, siswi baru. satu dari
beberapa wanita di sekolahku, sekolah menengah yang mayoritas batangan.
Bohong
besar jika tidak ada satupun lelaki yang jatuh cinta kepadanya, segerombolan
siswa bahkan guru-guru yang ada di sekitar lapangan tidak ingin menyia-nyiakan
pemandangan itu. Namun sesaat sebelum Fika benar-benar berlalu, seorang siswa
mengambil kesempatan untuk mencetak gol. Menendang bola arah gawang yang
kipernya masih melamun. Tendangannya keras dan melambung, saking melambungnya
tendangannya meleset. Bolanya mengenai wajah seorang guru berkumis tebal dan
berbadan gempal yang saat itu juga sementara melamun. Pak Herdin.
Semua
mata kini berbalik ke arahnya. Lapangan lengang sejenak. Tapi ketika Pak Herdin
mencabut pentungan, segerombolan siswa tersebut langsung bubar seketika.
Berlarian ke segala arah seperti merasa ada bencana. Berlari, bersembunyi,
menari-nari apapun itu yang penting menyelamatkan diri. Pak Herdin membabi buta
memburu mereka. Pentungan pun menempel dipaha, betis, atau punggung siswa yang
ia dapati. Jika tidak terkejar, ia melempar pentungan ke arah targetnya. Tontonan
ini makin seru, begitu pikirku. Lapangan seperti Collosium Roma dimana siswa adalah budak yang berlarian kesana
kemari karena diburu binatang buas Pangeran Roma,kayak di Filem-filem. Lama ia berputar-putar di lapangan, tiba-tiba Pak Herdin melihatku. Aku
berbalik ke kanan, dan ke kiri, tapi tidak ada siapa-siapa. kemudian kembali
berbalik ke depan. Badak gempal berkumis tebal sedang berlari liar menuju ke arahku.
***
Aku
memeluk badan, menutup baju yang kancingnya terlepas semua. Menelusuri trotoar
menuju pemberhentian angkot yang akan mengantarku pulang. Panas terik matahari
menusuk-nusuk kepalaku, membuat keringatku bercucuran. Keringat yang mengalir membasahi
kepalaku, membasahi memar-memar di pelipis akibat kejadian tadi siang. Cukup
geli, namun sedikit meredakan sakitnya. Sebuah angkot lewat di hadapanku, aku
segera naik. Masih dengan memeluk badan, aku memilih duduk paling belakang.
“Pelipisnya
kenapa kak?” suara halus menyapaku. Berasal tepat di depan tempat dudukku.
Aku
sedikit terhenyak. Seorang wanita dengan seragam putih abu-abu. Fika. Ternyata rumahku
satu jurusan dengannya.
“Bajunya
juga kok ditutupi begitu?”
“a…anu…
i…itu… ada Badak…” Sedikit terbata-bata aku mencoba menjawab.
“Badak?”
Segera
kuatur nafasku, mencoba tenang. Kelihatan sebiasa mungkin.
“Anu…
ehh, Di dekat lapangan tadi aku diseruduk badak, kerah bajuku diangkat
tinggi-tinggi sama dia lalu dibuang ke lantai seperti kucing terus pelipisku
terkena pot bunga saat aku jatuh, aku bingung kenapa badak itu menyerudukku padahal
aku tidak melakukan apa-apa aku hanya diam dan menonton untung saja aku tidak
ditendang sepatu laras atau dipukul pentungannya jika saja itu terjadi badanku
pasti remuk bila badanku remuk aku tidak masuk sekolah, kalau aku tidak masuk
sekolah….”
“Badaknya
siapa kak?” Fika memotong.
“Pak
Herdin…”
Ketawanya
tiba-tiba pecah, memenuhi angkot. Aku memicingkan mata, menatapnya kebingungan.
“Berarti
aku ini anak Badak dong?”
Aku
diam sejenak, mencoba memahami pertanyaannya. Alunan tawanya kembali memenuhi sudut-sudut
angkot disepanjang jalan pulang. Hampir semua penumpang memperhatikannya, kecuali
aku yang kini tertunduk sambil memeluk badan dengan lesu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar