26 Feb 2014

[Cerpen] The Forest After Twilight

Share it Please
“Sekarang aku sudah betul betul muak dengan perilaku mereka !”
            Suara barusan menghentakkan pendengaran hampir seluruh penghuni hutan, pohon dan batu sempat kaget oleh suara tersebut. Suara yang berasal dari permukaan menanjak diantara geliat akar dan semak belukar. Meledak begitu saja dari mulut Sang Tanah tidak lama setelah sekelompok manusia pergi berlalu. Jika saja Sang Tanah bisa leluasa menggerakkan badannya sendiri, seluruh hutan pasti sudah beregetar.
Kala itu senja mulai menyelimuti,
sang mentari turun di kaki langit dan bersembunyi dibalik punggung bukit. Cahaya mentari yang menusuk diantara daun perlahan meredup, ditutupi bayangan deretan  pepohonan hutan. Rona kemereah merahan berubah menjadi kelabu, Awan stratokomulus berangsur angsur beranjak dari tempatnya semula, di gantikan oleh bintang dan rembulan yang menambah pesona gelap malam.
Segelap perasaan Sang Tanah.
Bukan tanpa sebab Sang Tanah menggerutu seperti ini, tidak lama sebelumnya sekelompok manusia dengan ransel besar dipunggungnya sempat singgah ditempatnya, sekedar melepas lelah akibat perjalanan yang jauh dan terjal. Di sela sela istirahat, mereka merogoh tas dan mengambil beberpa snack, lalu memenuhi rahangnya dengan snack tersebut. Salah seorang diantaranya duduk diatas batu, membakar rokok yang telah terjepit disela jari lalu menghisapnya dengan santai. Tidak lama berselang tenaga mereka pulih, merekapun beranjak pergi. Namun alangkah buruknya pemandangan itu bagi Sang Tanah, melihat banyak bungkusan snack bertebaran dimana mana ditambah puntung rokok yang dibiarkan tergeletak, setelah dijentikkan dari jari perokok tadi.
            “apa apaan mereka ini ?” Sang Tanah dengan nada kesal menggerutu. “mereka kerjanya Cuma bisa merusak saja !”
            “ada apa denganmu wahai kawanku ?”
            Datang lagi suara lain, berasal dari gerutan gerutan pohon felicium yang berdiri kokoh, hanya  beberapa jengkal saja dari tempat Sang Tanah. diameter tubuhnya yang besar ditopang akar yang menyebar kesegala arah, menunjukkan umurnya yang sudah tua. Si Pohon Tua itu tidak lain adalah sahabatnya.
            “tidakkah kau lihat kawan, sampah sampah yang berserakan ini ? bahannya terbuat dari zat yang sangat sulit untuk kuurai.” Sang Tanah menjawab pertanyaan.
            Si Pohon memperhatikan di sekelilingnya. Memandangi bungkusan bungkusan yang berserakan, dan memang bukan pemandangan yang baik dipermukaan matanya.
            “sudah lama aku mendapati jenis sampah seperti ini, terkubur dalam dibawah sana” Sang Tanah mulai terlihat kesal, “dan sudah lama pula tidak terurai”.
            Si Pohon hanya diam, ini bukan kali pertamanya Sang Tanah mengeluh seperti ini. Dia seakan akan sudah lelah mendengarnya. Tapi baru kali ini dia melihat Sang Tanah sekesal ini.
            “padahal aku sudah berbuat baik kepada mereka, menyediakan jalan setapak yang nyaman, dan ketika hujan menerjang, dengan cepat aku menyerap air yang tergenang supaya tidak mengganggu pijakan mereka, namun inikah balasan mereka ?”
            “akupun begitu, sudah lama Ranting dan dedaunan rindangku ini membuat mereka nyaman saat berteduh. Namun masih saja mereka menyayat tubuhku dengan belati, bahkan sering dijadikan tempat pembuangan kotoran mereka.” Si Pohon membalas
            “bukan Cuma itu, ditempat tinggal mereka yang jauh disana, aku sering dijadikan bahan baku utama tempat tinggal mereka. entah mengapa kenapa aku ini selalu dekat dengan keseharian mereka,” intonasi suara Sang Tanah mulai naik, “Kau tahu kawan, bukan hanya kita yang menderita, Sungai dan Bebatuan juga. Air sungai tercemar oleh bahan kimia sedangkan bebatuan sering dicorat coret”
             “sama denganku kawan, aku merasakan juga penderitaan yang sama. Sebangsaku sering ditebang dan diolah menjadi bahan pelengkap kehidupan mereka. Dan mungkin suatu saat akupun akan bernasib sama.”
             “ belum lagi ketika mereka mati, aku masih berinteraksi dengan tubuh busuk mereka. Mereka dikubur diantara badanku dan Setiap saat berhadap hadapan dengan jasad mereka yang dimakan ulat hingga menjadi tulang belulang !” emosi Sang Tanah melonjak, dia tidak mau kalah.
      Si Pohon terdiam, mulutnya kaku mendengar kalimat terakhir dari Sang Tanah.

Percakapan ini sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. kala malam tiba, seluruh penghuni hutan seperti bangkit dari tidur mereka. Berbincang bincang dengan sesama penghuni hutan lainnya, hanya untuk sekedar berkeluh kesah layaknya manusia yang sedang gundah.
      “kadang aku merasa senang apabila mendengar berita bencana dari tempat tingal mereka – haha aku seakan akan merasa puas.” Sang Tanah kembali berujar
      “kenapa engkau begitu puas ?”
      “aku puas karena dendamku seakan akan terbalaskan, aku senang saat membayangkan raut wajah mereka yang sedang histeris ketakutan saat bencana itu terjadi, haha”
      “padahal itu akibat ulah mereka sendiri.”
      “ya ! betul kawanku. Bencana itu terjadi karena ulah mereka sendiri dan itu balasan yang setimpal buat mereka ! hahahaha” tawa Sang Tanah makin menjadi.
      “tapi….” Si Pohon memotong
      “tapi apa kawanku ?”
      “aku pernah mendapati manusia yang menanam bibit pohon sebangsaku disekitar sini ”
      “haha, dan kau percaya dengan tingkah mereka saat itu ?”
       “hmm…., bisa dibilang begitu”
      “aku beritahu ya kawan, jangan mudah terlena dengan tindakan manis manusia. Hidup mereka itu dipenuhi pencitraan, hanya baik dari tampak luar dan belum tentu dari dalam”
       “benarkah seperti itu ?” Si Pohon mengerutkan dahi
      “iyalah ! aku sudah menilai buruk mereka. tidak ada yang benar benar tulus, kalau pun ada hanya sedikit, mungkin 1-2 orang saja.”
      “….”
Lagi lagi si Pohon terdiam
      “manusia itu tidak tahu diri, mereka tidak lebih dari sesuatu yang mereka hambur hamburkan sebelum senja – sampah !” keluhan Sang Tanah makin kasar.
      “kawan, janganlah berucap seperti itu…”
      “ - memangnya kenapa ? ” Sang Tanah Penasaran
      “aku pernah mendengar, konon katanya nenek moyang mereka diciptakan dari tanah, sama sepertimu. Jika memang benar, maka kaupun tidak lebih dari sampah sama seperti penilaianmu barusan.”
      “apa katamu ? aku disamakan sama mereka ?” tenggorokannya seperti dicekik oleh kata si Pohon barusan. “walaupun bentukku tidak sesempurna mereka, tapi perilakuku ini lebih baik dari mereka. Jadi jangan samakan aku dengan mereka kawan”
      Tidak terasa malam semakin larut, angin malam mulai berhembus kencang, dingin belaiannya menyisir seluruh penjuru hutan, menggetarkan ranting pohon dan semak belukar. Burung burung membelah malam, mendarat pulang kesarangnya diikuti oleh hewan hewan lain. Si Pohon ingin menenangkan perasaan sang tanah, tapi sulit rasanya karena semakin dia berbicara semakin liar pula ocehan Sang Tanah.
      “aku sering mendapati mereka berkumpul sambil meneriakkan kata kata yang keluar dari tenggorokan mereka dengan lantang, aku sampai bosan mendengarnya” Sang Tanah kembali mengoceh.
      “apa yang mereka ucapkan ?” Sekarang Si Pohon yang penasaran
      Sang Tanah diam sejenak lalu berseru, “SALAM LESTARI !!!”
            Si Pohon lagi lagi terdiam. dia seakan akan pura pura lupa, padahal selama hidupnya kata kata tersebut sering menusuk pendengarannya.
“apakah tujuan dari kata kata itu ? yang aku tahu kata kata tersebut ditujukan kepada kita, untuk melestarikan kelangsungan hidup kita. Dan yang terjadi sekarang ? mereka lebih memilih melestarikan hidup mereka, dan kita diabaikan.”
            .“aku bingung, mengapa semakin lama waktu bergulir, mereka seperti lupa dengan makna kata kata tersebut. Aku hanya berharap, mereka segera berubah… “
            “ - akupun berharap begitu, aku tidak bisa berbuat apa apa di atas perbuatan mereka kecuali diam dan mengeluh,” nada Sang Tanah mendadak berubah menjadi lirih, menyiratkan kelelahan akibat penderitaan yang dia rasakan selama ini. “kawan, salahkah jika aku mengeluh  ? ”
      Si Pohon ikut terbawa sedih, dengan refleks dia menurunkan salah satu rantingnya sehingga menyentuh permukaan Sang Tanah, dedaunan dipucuknya membelai halus permukaan Sang Tanah, layaknya tangan manusia yang mengelus pundak temannya. Gesekan gesekan pelan ranting si Pohon menyapu kesana kemari menyingkirkan debu yang mengendap. Kesedihan Sang Tanah sekan akan ditelan habis oleh sensasi tersebut, bagaikan gelombang Tsunami yang meluluhlantahkan kota, habis tersapu oleh Si Pohon. Kadar emosinya pelan pelan luntur, dia merasa dipedulikan.
Sejenak keadaan hutan terasa sepi tanpa ocehan Sang tanah.
      “sabarlah kawan, kita ini hanya benda mati, tidak bisa berbuat apa apa kecuali hanya memberi manfaat kepada apa saja disekitar kita.” Si Pohon mengelus lebih pelan. “tidak salahnya kita mengeluh kawan. mengeluhlah, dan biarkan belaian angin dan cahaya bintang yang mengantarkan rintihan kita kepada penghuni langit. Aku yakin, penghuni langit  juga sedang memperhatikan kita.“
      Waktupun sampai di ujung malam, pesonanya tidak berubah. Hanya belaian angin semakin dingin dan bintang semakin bercahaya, seakan akan siap menyampaikan suatu pesan dari sepasang sahabat dari dalam hutan belantara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author