“Sekarang aku sudah betul betul
muak dengan perilaku mereka !”
Suara barusan menghentakkan
pendengaran hampir seluruh penghuni hutan, pohon dan batu sempat kaget oleh
suara tersebut. Suara yang berasal dari permukaan menanjak diantara geliat akar
dan semak belukar. Meledak begitu saja dari mulut Sang Tanah tidak lama setelah
sekelompok manusia pergi berlalu. Jika saja Sang Tanah bisa leluasa
menggerakkan badannya sendiri, seluruh hutan pasti sudah beregetar.
Kala
itu senja mulai menyelimuti,
sang
mentari turun di kaki langit dan bersembunyi dibalik
punggung bukit. Cahaya mentari yang menusuk diantara
daun perlahan meredup, ditutupi bayangan deretan pepohonan hutan. Rona kemereah merahan berubah
menjadi kelabu, Awan stratokomulus
berangsur angsur beranjak dari tempatnya semula, di gantikan oleh bintang dan
rembulan yang menambah pesona gelap malam.
Bukan tanpa sebab
Sang Tanah menggerutu seperti ini, tidak lama sebelumnya sekelompok manusia
dengan ransel besar dipunggungnya sempat singgah ditempatnya, sekedar melepas
lelah akibat perjalanan yang jauh dan terjal. Di sela sela istirahat, mereka merogoh
tas dan mengambil beberpa snack, lalu memenuhi rahangnya dengan snack tersebut.
Salah seorang diantaranya duduk diatas batu, membakar rokok yang telah terjepit
disela jari lalu menghisapnya dengan santai. Tidak lama berselang tenaga mereka
pulih, merekapun beranjak pergi. Namun alangkah buruknya pemandangan itu bagi
Sang Tanah, melihat banyak bungkusan snack bertebaran dimana mana ditambah
puntung rokok yang dibiarkan tergeletak, setelah dijentikkan dari jari perokok
tadi.
“apa
apaan mereka ini ?” Sang Tanah dengan nada kesal menggerutu. “mereka kerjanya
Cuma bisa merusak saja !”
“ada
apa denganmu wahai kawanku ?”
Datang
lagi suara lain, berasal dari gerutan gerutan pohon felicium yang berdiri kokoh, hanya beberapa jengkal saja dari tempat Sang Tanah. diameter
tubuhnya yang besar ditopang akar yang menyebar kesegala arah, menunjukkan
umurnya yang sudah tua. Si Pohon Tua itu tidak lain adalah sahabatnya.
“tidakkah
kau lihat kawan, sampah sampah yang berserakan ini ? bahannya terbuat dari zat
yang sangat sulit untuk kuurai.” Sang Tanah menjawab pertanyaan.
Si
Pohon memperhatikan di sekelilingnya. Memandangi bungkusan bungkusan yang
berserakan, dan memang bukan pemandangan yang baik dipermukaan matanya.
“sudah
lama aku mendapati jenis sampah seperti ini, terkubur dalam dibawah sana” Sang
Tanah mulai terlihat kesal, “dan sudah lama pula tidak terurai”.
Si
Pohon hanya diam, ini bukan kali pertamanya Sang Tanah mengeluh seperti ini.
Dia seakan akan sudah lelah mendengarnya. Tapi baru kali ini dia melihat Sang
Tanah sekesal ini.
“padahal
aku sudah berbuat baik kepada mereka, menyediakan jalan setapak yang nyaman,
dan ketika hujan menerjang, dengan cepat aku menyerap air yang tergenang supaya
tidak mengganggu pijakan mereka, namun inikah balasan mereka ?”
“akupun
begitu, sudah lama Ranting dan dedaunan rindangku ini membuat mereka nyaman
saat berteduh. Namun masih saja mereka menyayat tubuhku dengan belati, bahkan
sering dijadikan tempat pembuangan kotoran mereka.” Si Pohon membalas
“bukan
Cuma itu, ditempat tinggal mereka yang jauh disana, aku sering dijadikan bahan
baku utama tempat tinggal mereka. entah mengapa kenapa aku ini selalu dekat
dengan keseharian mereka,” intonasi suara Sang Tanah mulai naik, “Kau tahu
kawan, bukan hanya kita yang menderita, Sungai dan Bebatuan juga. Air sungai tercemar
oleh bahan kimia sedangkan bebatuan sering dicorat coret”
“sama denganku kawan, aku merasakan juga penderitaan
yang sama. Sebangsaku sering ditebang dan diolah menjadi bahan pelengkap
kehidupan mereka. Dan mungkin suatu saat akupun akan bernasib sama.”
“ belum lagi ketika mereka mati, aku masih
berinteraksi dengan tubuh busuk mereka. Mereka dikubur diantara badanku dan Setiap
saat berhadap hadapan dengan jasad mereka yang dimakan ulat hingga menjadi
tulang belulang !” emosi Sang Tanah melonjak, dia tidak mau kalah.
Si Pohon terdiam, mulutnya kaku mendengar
kalimat terakhir dari Sang Tanah.
Percakapan ini sudah
menjadi kebiasaan bagi mereka. kala malam tiba, seluruh penghuni hutan seperti
bangkit dari tidur mereka. Berbincang bincang dengan sesama penghuni hutan
lainnya, hanya untuk sekedar berkeluh kesah layaknya manusia yang sedang
gundah.
“kadang aku merasa senang apabila
mendengar berita bencana dari tempat tingal mereka – haha aku seakan akan
merasa puas.” Sang Tanah kembali berujar
“kenapa engkau begitu puas ?”
“aku puas karena dendamku seakan akan
terbalaskan, aku senang saat membayangkan raut wajah mereka yang sedang
histeris ketakutan saat bencana itu terjadi, haha”
“padahal itu akibat ulah mereka sendiri.”
“ya ! betul kawanku. Bencana itu terjadi
karena ulah mereka sendiri dan itu balasan yang setimpal buat mereka !
hahahaha” tawa Sang Tanah makin menjadi.
“tapi….” Si Pohon memotong
“tapi apa kawanku ?”
“aku pernah mendapati manusia yang menanam
bibit pohon sebangsaku disekitar sini ”
“haha, dan kau percaya dengan tingkah
mereka saat itu ?”
“hmm….,
bisa dibilang begitu”
“aku beritahu ya kawan, jangan mudah
terlena dengan tindakan manis manusia. Hidup mereka itu dipenuhi pencitraan,
hanya baik dari tampak luar dan belum tentu dari dalam”
“benarkah
seperti itu ?” Si Pohon mengerutkan dahi
“iyalah ! aku sudah menilai buruk mereka.
tidak ada yang benar benar tulus, kalau pun ada hanya sedikit, mungkin 1-2
orang saja.”
“….”
Lagi lagi si Pohon
terdiam
“manusia itu tidak tahu diri, mereka tidak
lebih dari sesuatu yang mereka hambur hamburkan sebelum senja – sampah !”
keluhan Sang Tanah makin kasar.
“kawan, janganlah berucap seperti itu…”
“ - memangnya kenapa ? ” Sang Tanah
Penasaran
“aku pernah mendengar, konon katanya nenek
moyang mereka diciptakan dari tanah, sama sepertimu. Jika memang benar, maka kaupun
tidak lebih dari sampah sama seperti penilaianmu barusan.”
“apa katamu ? aku disamakan sama mereka ?”
tenggorokannya seperti dicekik oleh kata si Pohon barusan. “walaupun bentukku
tidak sesempurna mereka, tapi perilakuku ini lebih baik dari mereka. Jadi
jangan samakan aku dengan mereka kawan”
Tidak terasa malam semakin larut, angin
malam mulai berhembus kencang, dingin belaiannya menyisir seluruh penjuru
hutan, menggetarkan ranting pohon dan semak belukar. Burung burung membelah
malam, mendarat pulang kesarangnya diikuti oleh hewan hewan lain. Si Pohon ingin
menenangkan perasaan sang tanah, tapi sulit rasanya karena semakin dia
berbicara semakin liar pula ocehan Sang Tanah.
“aku sering mendapati mereka berkumpul
sambil meneriakkan kata kata yang keluar dari tenggorokan mereka dengan
lantang, aku sampai bosan mendengarnya” Sang Tanah kembali mengoceh.
“apa yang mereka ucapkan ?” Sekarang Si
Pohon yang penasaran
Sang Tanah diam sejenak lalu berseru,
“SALAM LESTARI !!!”
Si Pohon lagi lagi terdiam. dia
seakan akan pura pura lupa, padahal selama hidupnya kata kata tersebut sering
menusuk pendengarannya.
“apakah tujuan dari
kata kata itu ? yang aku tahu kata kata tersebut ditujukan kepada kita, untuk
melestarikan kelangsungan hidup kita. Dan yang terjadi sekarang ? mereka lebih memilih
melestarikan hidup mereka, dan kita diabaikan.”
.“aku bingung, mengapa semakin lama
waktu bergulir, mereka seperti lupa dengan makna kata kata tersebut. Aku hanya
berharap, mereka segera berubah… “
“ - akupun berharap begitu, aku
tidak bisa berbuat apa apa di atas perbuatan mereka kecuali diam dan mengeluh,”
nada Sang Tanah mendadak berubah menjadi lirih, menyiratkan kelelahan akibat
penderitaan yang dia rasakan selama ini. “kawan, salahkah jika aku mengeluh ? ”
Si Pohon ikut terbawa sedih, dengan
refleks dia menurunkan salah satu rantingnya sehingga menyentuh permukaan Sang
Tanah, dedaunan dipucuknya membelai halus permukaan Sang Tanah, layaknya tangan
manusia yang mengelus pundak temannya. Gesekan gesekan pelan ranting si Pohon menyapu
kesana kemari menyingkirkan debu yang mengendap. Kesedihan Sang Tanah sekan
akan ditelan habis oleh sensasi tersebut, bagaikan gelombang Tsunami yang meluluhlantahkan
kota, habis tersapu oleh Si Pohon. Kadar emosinya pelan pelan luntur, dia
merasa dipedulikan.
Sejenak keadaan hutan
terasa sepi tanpa ocehan Sang tanah.
“sabarlah kawan, kita ini hanya benda
mati, tidak bisa berbuat apa apa kecuali hanya memberi manfaat kepada apa saja
disekitar kita.” Si Pohon mengelus lebih pelan. “tidak salahnya kita mengeluh
kawan. mengeluhlah, dan biarkan belaian angin dan cahaya bintang yang mengantarkan
rintihan kita kepada penghuni langit. Aku yakin, penghuni langit juga sedang memperhatikan kita.“
Waktupun sampai di ujung malam, pesonanya tidak
berubah. Hanya belaian angin semakin dingin dan bintang semakin bercahaya,
seakan akan siap menyampaikan suatu pesan dari sepasang sahabat dari dalam
hutan belantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar